Sunday, January 25, 2015

ESOK ATAU BESOK?



Suka dan Sering
Di dalam bahasa cakapan kita sering mendengar orang mengucapkan kata suka alih-alih kata sering, seperti pada kalimat berikut.
1.  Saya suka/sering lupa waktu kalau lagi asyik bekerja.
Pada kalimat itu, baik suka maupun sering, dapat digunakan bergantian karena dalam bahasa cakapan salah satu makna kata suka ialah 'sering'. Dalam bahasa resmi, pemakaian kedua kata itu harus dibedakan dengan cermat sebab makna keduanya memeng berbeda. Pada contoh berikut suka tidak dapat digantikan oleh sering karena sering berarti 'acapkali' atau 'kerapkali'.
2.  a. Dia adalah teman dalam suka dan duka.
b. Saya suka akan tindakannya.
c. Ambillah kalau Anda suka.
d. Jarang sekali ada ibu yang tidak suka akan anaknya.
Pada contoh (2a) itu kata suka bermakna 'girang', 'riang', atau 'senang'; pada (2b) berarti 'senang'; pada (2c) berarti 'mau', 'sudi', atau 'setuju';pada (2d) berarti 'sayang'.

Ungkapan/Kata Penghubung Intrakalimat

Ungkapan/kata penghubung intrakalimat adalah ungkapan/kata dalam se­buah kalimat yang berfungsi menghubungkan unsur-unsur kalirnat.
Ungkapan/kata peng­hubung intrakalimat itu tidak pernah digunakan pada awal sebuah kalimat, kecuali jika kata itu digunakan pada anak kalimat yang mendahului induk kalimat, seperti karena. Oleh karena itu, kata­-kata yang tergolong ke dalam ungkapan/kata penghubung itu tidak pernah/ tidak boleh ditulis dengan huruf kapital. Contoh kata penghtlhung itu adalah
... dan ....                 ... agar ....
... yang ....               ... sehingga .... ... bahwa .... ... karena ....
Selain, dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan/kata penghubung intrakalimat yang penulisannya selalu didahului oleh tanda koma, seperti ... ,
sedangkan ....          ...., tetapi ....
Contoh:
(1)   la dan adiknya pergi ke Surabaya.
(2)   la tidak masuk sekolah karena sakit.
(3)   Karena sakit, ia tidak masuk sekolah.
(4)   la sangat rajin belajar sehingga tidak pernah menemui kesulitan di sekolah.
(5)   la selalu berusaha keras agar cita-citanya dapat tercapai.
(6)   Anak itu pandai, tetapi sayang teman bergaulnya terbatas.
(7)   Bagaimana aku dapat rnenolongmu, sedangkan aku sendiri kekurangan.

Ungkapan/Kata Penghubung Antarkalimat
Ungkapan penghubung antarkalimat berfungsi menghubungkan sebu­ah kalimat dengan kalimat lain.
Oleh karena itu, kata/ungkapan penghu­bung jenis itu harus ditulis dengan huruf awal kapital dan diiringi tanda koma. Posisinya dalam kalimat selalu berada pada awal kalimat yang akan dihubungkan dengan kalimat sebelumnya.
Kata/ungkapan penghu­bung yang tergolong jenis ini, antara lain, sebagai
berikut.
.... Akan tetapi, ....
.... Berkaitan dengan hal itu, ....
.... Meskipun demikian, ....
.... Oleh karena itu, ....
.... Sebaliknya, ....
.... Sehubungan dengan itu, ....
.... Sehubungan dengan hal itu, ....
.... Sesuai dengan itu, ....
.... Sesuai dengan uraian tersebut, ....
.... Walaupun demikian, ....

Tidak Bergeming dan Acuh

Ungkapan pernyataan tidak bergeming sering digunakan seperti pada kalimat berikut.
(1) "Politikus itu tetap tidak bergeming pada pendirian yang diyakininya".
Benarkahpemakaian ungkapan pernyataan di dalam kalimat itu?
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bergeming berarti 'diam saja atau tidak bergerak sedikit juga'. Kata bergeming yang dikaitkan dengan pendirian berarti 'tidak berubah'. Ungkapan pernyataan tidak bergeming berarti 'tidak tidak berubah' atau 'berubah'.
Atas dasar makna kata itu, peng­gunaan ungkapan pernyataan tidak bergeming dalam kalimat tersebut tidak tepat. Pernyataan yang benar adalah sebagai ber­ikut.
(la) Politikus itu tetap bergeming pada pendirian yang diyakininya. 
Kesalahan serupa terjadi pula pada pemakaian kata acuh seperti yang terlihat pada kalimat berikut.
(2) Selama ini sikapnya acuh saja terhadaplingkungannya
Jika kita lihat makna kata acuh itu di dalam Kamus Besar Bahasa Indo­nesia, pengertiannya sama dengan peduli. Selain dibentuk menjadi mengacuh­kan, kata acuh juga dipakai dalam bentuk acuh tak acuh dengan arti 'tidak peduli'. Selain bentuk acuh tak acuh, muncul pula pema­kaian kata acuh dengan pengertian yang sama. Sebagai akibatnya, banyak orang yang beranggapan bahwa kata acuh berarti 'tidak peduli' seperti pada kalimat contoh itu, yang seharusnya digunakan acuh tak acuh se­hingga kalimatnya menjadi
(2a) Selama ini sikapnya acuh tak acuh saja terhadap lingkungannya.
Kata mengacuhkan berarti 'memedulikan atau mengindahkan'. Oleh karena itu, pemakaian kata rnengacuhkan pada kalimat berikut tidak tepat.
(3)     Kesemrawutan lalu lintas itu terjadi karena banyak pemakai jalan          yang meng­acuhkan rambu-rambu lalu lintas yang ada. 
Pada kalimat itu seharusnya digunakan tidak mengacuhkan.

Sudah dan Telah
Kita sering melihat berita sukacita atau dukacita di surat kabar atau majalah seperti berikut.
 (1) Telah menikah Adi dengan Bimbi pada 25 September 2001.
(2)Telah meninggal dunia nenek kami tercinta pada tanggal I5 Septem­ber 2001
Berita seperti itu hampir tidak pernah menggunakan kata sudah walaupun kedua kata itu bersinonim.
Telah menikah digunakan untuk mengutamakan 'peristiwa berlang­sung­nya per­nikahan'; telah menikah dapat dilawankan dengan akan meni­kah. Akan te­tapi, sudah menikah lebih mengutamakan 'keadaan sudah berlangsungnya sesuatu' sehingga sudah menikah dapat dilawankan de­ngan belum menikah.
Kata sudah mencakupi makna 'cukup sekian'; 'cukup sampai di sini', sedangkan telah tidak.
(3)   Sudah (bukan telah), jangan kautangisi lagi kematian itu.
 Sudah dapat dirangkaikan dengan partikel -lah atau -kah, sedang­kan
telah
tidak. Oleh karena itu, sudahkah dan sudahlah pada kalimat berikut ber­terima, tetapi kata telahkah dan telahlah tidak berterima.
(4)  Sudahkah (bukan telahkah) semua anak negeri ini mendapat pendidikan yang baik?
(5)  Sudahlah (bukan telahlah), jangan siksa dia lagi.
 Kata sudah dapat berdiri sendiri sebagai unsur tunggal di dalam klausa,
sedangkan telah tidak.
(6)   Sudah! (bukan telah!) Diam!
(7)    Anda sudah (bukan telah) makan? Sudah.
 Sudah dapat digunakan dalam bentuk inversi, sedangkan telah tidak.
(8) Lengkap sudah (bukan telah) kebahagiaan hidupnya.
 Sudah mempunyai hubungan yang renggang dengan predikat, tetapi telah lebih rapat. Kerenggangan itu tampak pada kemungkinan penyisipan kata, seperti mau, harus, akan, atau tidak, di antara kata predikat dan kata sudah
(9)    Dia sudah (bukan telah) mau makan sedikit-dikit.
(10)  Anda sudah (bukan telah) harus pergi besok pagi.
Namun, pada contoh berikut kata sudah dan telah dapat digunakan.
(11)  Pagi-pagi kami datang menjemputnya, tetapi ternyata dia sudahl telah pergi.
(12) Dia sudah/telah dua hari tinggal di desa kami.
 Perhatikan bahwa pada contoh (11) sudah/telah digunakan untuk mene­rangkan verba pergi, sedangkan pada contoh (12) menerangkan numeralia dua hari.


Sudah benarkah penulisan (1) mensahkan, mempel, mentes; (2) mengolahragakan masyarakat; (3) ulang tahun Korpri ke-14?
(1)   Jika imbuhan me- ditambahkan pada kata yang bersuku tunggal, seperti sah, pel dan tes, awalan itu berubah menjadi menge- sehingga bentuk­nya menjadi mengesahkan, mengepel, dan mengetes. Demikian juga, imbuhan pe-...-an akan menjadi penge-...-an sehingga menghasilkan pengesahan, pengepelan, dan pengetesan. Jika kita bertaat asas pada sistem perekabentukan seperti itu, cara yang sama berlaku juga bagi kata bersuku tunggal lain, seperti bom, cat, las, dan lap.
 Contoh:      mengebom, pengeboman                                
              mengecat, pengecatan      
mengelas, pengelasan                                 
mengelap,  pengelapan 
(2)   Untuk mengimbau masyarakat agar gemar berolahraga, dipakai orang ungkapan mengolahragakan masyarakat. Ungkapan itu kurang cermat. imbuhan me-...-kan pada bentuk mengolahragakan, menurut kaidah yang benar, berarti ‘membuat ... jadi ...’, yakni ‘membuat masyarakat  menjadi  olahraga’.  Untuk mengungkapkan arti ‘mem­buat masyarakat berolahraga’ hendaklah digunakan imbuhan mem­per-...-kan. Jadi, bentuk yang benar adalah memperolahragakan masyarakat, bukan mengolah­ragakan masyarakat. Contoh lain, memperaksarakan masyarakat, memperhentikan pegawai, dan mempertemukan mempelai yang masing-­masing berarti ‘membuat masyarakat beraksara’, ‘membuat pegawai berhenti’, dan ‘membuat mempelai bertemu’. (3)   Bentuk tulisan Ulang Tahun Korpri Ke-14 dianggap kurang cermat karena dapat ditafsirkan bahwa di negara kita sekurang-kurangnya ada 14 macam korpri. Yang berulang tahun pada saat itu adalah Korpri Ke-14. Dalam penyusunan kata yang cermat, sebaiknya ke-14 itu didekat­kan pada  ulang tahun karena memang yang dirayakan itu adalah ulang tahun ke-14 Korpri. Jadi, penulisan yang benar adalah Ulang Tahun Ke-­14 Korpri. 

Suatu dan Sesuatu
Kata Suatu dan Sesuatu masing-masung mempunyai perilaku bahasa yang ber­beda. Kata suatu diikuti langsung nomina, sedangkan kata sesuatu tidak se­cara langsung diikuti nomina, tetapi hanya dapat diikuti oleh keterangan pewatas yang didahului oleh konjungtor yang atau keterangan lain atau dapat digunakan pada akhir kalimat tanpa diiringi kata apa pun.
Contoh:
suatu (1) Pada suatu masa nanti, ia akan menyadari kesalahannya.   (2) Menurut sahibul hikayat, di suatu negeri antah berantah, ada seorang raja yang tidak dapat tidur.
(3) Pada suatu hari sang Permaisuri ingin sekali menjenguk putrinya di taman keputren.
(4) Saya melihat suatu peristiwa yang sangat indah.  

sesuatu  (1)  Saya melihat tanda-tanda akan terjadinya sesuatu dalam    perjalanan kita ini.
(2)  Jika kamu menemukan sesuatu di jalan, sedangkan sesuatu itu bukan barang milikmu, jangan sekali-kali engkau memungutnya. (3)        Aku yakin bahwa di antara mereka berdua tidak mungkin terjadi sesuatu. Mereka berdua bersahabat sejak kecil dan teman sepermainanku.
(4)  Tidak ada sesuatu yang sukar bagi mereka yang mau berusaha secara sungguh-sungguh.
(5)  Ada sesuatu yang belum saya pahami mengenai hal itu

Status Quo, Klarifikasi, Kondusif, Modus Operandi, dan Provokator

Status quo berasal dari bahasa Latin, artinya 'keadaan tetap
sebagai­mana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya'.
Jadi, mempertahankan status quo berarti mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya.
Contoh:
(1)  la mengajukan pandangan baru, tetapi tidak mengubah status quo.
(2)  Di dalam gerakan masyarakat selalu terdapat kelompok gerakan
yang menerima dan menolak status quo.
Klarifikasi adalah penjernihan masalah hingga menjadi
transparan dan tidak ada yang dirahasiakan.
Contoh:
(3) Sangkaan korupsi yang ditujukan kepada pejabat negara itu perlu diklari­fikasi. 
Kondusif artinya bersifat dapat memberi peluang atau
bersifat men­dukung tercapainya hasil yang diinginkan.
Contoh:
(4)Kurangnya lampu penerang jalan merupakan keadaan yang kondusif untuk terjadinya kerawanan perjalanan pada malam hari.

Modus operandi (berasal dari bahasa Latin) adalah prosedur atau cara bergerak atau berbuat sesuatu.
Contoh:
(5) Menempatkan kayu perintang di
jalan menjadi modus operandi keja­hatan pada masa kini
.

Provokator adalah orang atau
sekelompok orang yang melakukan tindak provo­kasi, yaitu tindakan atau
perbuatan untuk membangkitkan kemarahan pihak lain.
Contoh:
(1)    Bentrokan fisik terjadi di beberapa tempat sebagai akibat dari hasut­an provokator.

Sinonim
Setiap kata yang dapat dikelompokkan dengan kata lain berdasarkan mak­na umum disebut kata bersinonim.
Kata-kata itu mengandung arti pusat yang sama (denotasi), tetapi berbeda dalam nilai rasa (konotasi). Adapun makna denotasi bersifat umum, harfiah, atau netral. Makna ko­notasi mengandung emosi atau timbangan rasa yang bertalian dengan latar dan suasana hati.
Maknanya bersifat khusus, spesifik.
Penguasaan kata bersinonim, selain dapat menolong kita untuk me­nyampaikan gagasan umum, juga membantu kita untuk membuat perbe­daan yang tajam dan tepat makna setiap kata. Misalnya, kata meman­dang, menatap, mengintip, melirik, melotot, mengerling, dan mengeker sama-sama berasal dari makna denotasi yang sama, yaitu 'melihat', tetapi berbeda makna konotasinya. Demikian juga, kata meninggal (dunia), berpulang ke rahmatullah, gugur, dan tewas, makna denotasi setiap kata itu sama, yaitu 'mati', tetapi makna kono­tasinya berlainan.
Tentu tidak gampang membedakan makna konotasi setiap kata yang, ber­sinonim. Untuk itu, perlu diperhatikan kesamaan kelas katanya (adjektiva, nomina, verba) dan pengalaman kita terhadap pemakaian setiap kata itu. Faktor itulah yang memberikan makna tambahan terhadap denotasinya.
Penutur bahasa yang baik tentu dapat membedakan makna yang terkan­dung dalam kata melatih, menatar, menyuluh, dan mendidik. Makna konotasi setiap kata itu berbeda, tetapi makna denotasinya serupa: 'mengajar'. Kata mendidik,
misalnya, menyiratkan makna 'kasih sayang', 'sabar’, 'hubungan yang akrab',
selain 'menanamkan moral dan ilmu pengetahuan', sedangkan melatih
mengesankan 'memberikan penge­tahuan keterampilan tentang sesuatu'.

Singkatan Kata dan Akronim
Penggunaan singkatan dan akronim merupakan salah satu cara ber­komunikasi ekonomis.
Misalnya,
singkatan P3K merupakan kependekan dari pertolongan pertama pada
kecelakaan
dan ipoleksosbudhankam me­rupakan akronim dari ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, perta­hanan, dan keaman­an.
Penggunaan singkatan selain memiliki nilai po­sitif, juga dapat menimbulkan
dampak negatif. Nilai positifnya ialah bah­wa komunikasi dapat dilakukan secara ekonomis, sedangkan dampak ne­gatifnya ialah tidak semua orang yang diajak berkomunikasi memahami singkatan yang digunakan. Perhatikan contoh pe­makaian singkatan BPFKPPA (Badan Pekerja Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengem­bangan Anak) atau akronim Suslapa (kursus lanjutan perwira). Jika sing­katan dan akronim tersebut digunakan dalam berkomunikasi yang meli­batkan masyarakat luas
dengan tidak menyertakan kepanjangan singkatan kata itu, yang akan terjadi adalah munculnya gangguan komunikasi. Oleh karena itu, bentuk singkatan kata atau akronim dapat saja digunakan da­lam berkomunikasi selama tidak menimbulkan gangguan dalam pema­hamannya.
Seperti Misalnya, Contohnya Seperti, Umpamanya Seperti  Pemakaian dua kata yang mempunyai makna dan fungsi yang sama, antara lain seperti misalnya, contohnya seperti, dan umpamanya seperti merupakan pe­makaian bahasa yang kurang cermat.
Kata seperti, misalnya­, contohnya, dan umpama­nya adalah kata-kata yang bersinonim se­hingga pema­kaiannya secara bersama-sama merupakan
kelewahan atau mubazir. Oleh karena itu, demi kecermatan berbahasa dan untuk menghindari terjadinya ke­lewahan atau kemubaziran, sebaiknya kata-kata ter­sebut digunakan satu saja. Kelewahan atau kemubaziran itu dapat dilihat pada contoh berikut.
(1a) Hasil pengembangan teknologi sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia seperti misalnya komputer, peralatan transportasi, dan peralatan infor­masi.
(1b)Hasil pengembangan teknologi sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia contohnya seperti komputer, peralatan transportasi, dan peralatan infor­masi.
(1c) Hasil pengembangan teknologi sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia umpamanya seperti komputer, peralatan transportasi, dan peralatan infor­masi.

Pemakaian kata lain yang sejalan dengan hal itu adalah, hanya ... saja;
misalnya ..., ..., dan sebagainya;
antara lain ..., ..., dan lain
sebagainya
; serta  seperti ..., ..., dan lain-lain.
Dalam hal ini kata hanya dan saja juga merupakan kata yang bersinonim
sehingga pemakaiannya secara bersamaan merupakan kelewahan atau muba­zir. Oleh karena itu, digunakan satu saja: hanya atau saja.
Berikut ini adalah contoh pemakaian kata-kata itu secara efektif.
(2a) Peristiwa itu bukan hanya diketahui oleh keluarganya, melainkan juga oleh masyarakat di sekitarnya.
(2b)Peristiwa itu bukan diketahui oleh keluarganya saja, melainkan juga oleh masyarakat di sekitarnya.
Demikian juga kata dsb., dll., dan dlsb. yang digunakan secara kurang tepat. Misalnya:
(3)     Ekspornonmigas,      misalnya          rotan, kayu lapis, pakaian jadi  dsb. antara lain     dll.  makin meningkat.
 Kata seperti, misalnya, atau antara lain itu sudah bermakna 'bebe­rapa atau sebagian'. Oleh karena itu, kata dsb., dll., atau dlsb. tidak per­lu dimunculkan lagi apabila sudah digunakan kata misalnya atau antara lain. Dalam hal itu lebih baik jika digunakan kata dan atau atau sebelum butir perincian yang terakhir.
Contoh:misalnya

 (4)   Ekspor nonmigas,     seperti  rotan, kayu lapis, pakaian jadi       
      antara lain        makin meningkat.

Semua, Seluruh, Segala, Sekalian, dan Segenap
Kata semua, seluruh, segala, sekalian, dan segenap memiliki persa­maan dan perbedaan arti. Persamaan arti menyebabkan kata itu dapat saling dipertukarkan, sedangkan perbedaan arti menyebabkan kata itu tidak dapat saling dipertukarkan.
Kata semua bermakna setiap anggota terkena atau termasuk dalam hitungan. Makna itu terlihat pada contoh berikut ini.
(1)    Semua warga kota diungsikan.
Kata seluruh juga mengandung makna bahwa setiap anggota termasuk dalam hitungan, tetapi dalam pengertian kekelompokan atau kolektif. Kalimat di atas dapat diubah dengan mempertukarkan kata semua dengan seluruh seperti berikut.
(2)    Seluruh warga kota diungsikan.

Akan tetapi, pada dua kalimat berikut pemakaian kedua kata itu memi­liki makna yang berbeda.
(3)    *Semua bangsa Indonesia menjunjung bahasa persatuan.
(4)    Seluruh bangsa Indonesia menjunjung bahasa persatuan.
Perbedaan itu terjadi karena pemakaian kata semua ditekankan pada jumlah yang banyak, sedangkan pemakaian kata seluruh ditekankan pada satu benda yang merupakan kesatuan yang utuh. Bangsa Indo­nesia pada kalimat (3) dan (4) jumlahnya hanya satu. OIeh karena itu, penggunaan kata seluruh pada kalimat itu lebih tepat daripada kata semua. Hal itu nyata juga pada perbandingan berikut.
(5)    Semua ruangan akan dibersihkan dan dicat lagi.
(6)    Seluruh ruangan akan dibersihkan dan dicat lagi.

Semua ruangan menyiratkan makna adanya beberapa ruangan. Sementara itu, seluruh ruangan pada kalimat (6) mengandung pe­ngertian adanya satu ruangan yang semua bagiannya dibersihkan dan dicat lagi. Makna ‘semua bagian’ juga terlihat pada kalimat berikut.
(7)    Seluruh tubuhnya terkena tumpahan minyak.

Dalam kalimat itu kata seluruh tidak dapat ditukar dengan semua.
Kata segala menyatakan makna ‘semua macam’. Jadi, kata itu dipakai untuk mengacu pada benda yang beraneka ragam. Pada kalimat berikut kata segala dan semua dapat dipertukarkan, tetapi ada sedikit perbedaan makna.
(8)    Dewi ingin melihat segala bunga yang terdapat di kebun itu.
(9)    Dewi ingin melihat semua bunga yang terdapat di kebun itu.

Kalimat (8) menyiratkan pengertian bahwa di kebun itu ada berbagai jenis bunga. Kalimat (9) mengandung dua pengertian: mungkin satu jenis bunga saja yang ada di kebun itu atau mungkin pula ada ber­bagai jenis.
Jika benda yang ditunjuk kata segala tidak beragam, pengguna­annya akan janggal, seperti terlihat pada kalimat berikut ini.
(10)  *SegaIa siswa kelas enam akan menghadapi ujian akhir.

Kata sekalian menyatakan keserentakan. Kata itu hanya digunakan untuk mengacu pada orang atau manusia. Hal itu terlihat pada ke­janggalan pemakaiannya dalam kalimat berikut ini.
(11)  * Sekalian meja akan diangkut ke tempat lain.

Kata sekalian dapat dipertukarkan dengan semua seperti pada kalimat berikut.
(12)  Sekalian orang di ruangan itu menengok kepadanya.
(13)  Semua orang di ruangan itu menengok kepadanya.

Kata segenap juga menyatakan makna ‘semua’, tetapi dalam pengerti­an kelengkapan. Dalam hal ini maknanya mirip dengan Kata seluruh.
(14)  Segenap bangsa Indonesia menjunjung bahasa persatuan.

Perbedaannya dengan kata seluruh ialah bahwa kata ini biasanya diikuti oleh kata yang menyatakan manusia. Kalimat berikut ini tidaklah lazim.
(15)  *Kita akan melindungi segenap binatang dari kepunahan.
(16)  *Segenap tubuhnya terkena tumpahan minyak.

Sekali dan Sekali-kali
Kecermatan dalam berbahasa harus ditopang oleh ketelitian menge­tahui makna kata. Dapat saja terjadi kekeliruan karena makna kata yang bermiripan tidak dipahami secara baik.
 Marilah kita perhatikan penggu­naan kata sekali, sekali-sekali, sesekali, sekali-kali, dan sekalian. Kata sekali berarti 'satu kali'. Contoh: (1)        Sejak Indonesia merdeka hingga tahun 2003 ini baru sekali di Indonesia dilakukan pemilu secara demokratis. (2)     Majalah itu terbit sekali seminggu.   Kata sekali-sekali berarti 'kadang-kadang, tidak sering, tidak selalu', dan berarti 'coba-coba'. Contoh: (3)        Masih terjadi sekali-sekali kerusuhan di daerah itu. (4)        Jangan sekali-sekali kamu lari dari sini.   Kata sesekali berarti sama dengan sekali-sekali, yaitu 'kadang-kadang', 'tidak kerap', 'tidak sering', 'tidak selalu'. Kata sesekali merupa­kan bentuk singkat dari bentuk sekali-sekali. Contoh: (5)        Dia hanya sesekali menjenguk sanak familinya. (6)        Sesekali dia mengajukan kritik kepada pemerintah.   Kata sekali-kali berarti 'sama sekali', sedikit pun (tidak)', atau 'sedikit pun jangan'. Contoh: (7)        Sekali-kali pemerintah tidak boleh mengecewakan rakyat. (8)        Pejabat jangan sekali-kali membohongi masyarakat.

Samakah arti negeri dan negara?
Kata negeri tidak sama artinya dengan negara. Negeri berarti ‘kota, tanah tempat tinggal, wilayah atau sekumpulan kampung (distrik) di bawah kekuasaan seorang penghulu (seperti di Minangkabau).
Kata negeri bertalian dengan ilmu bumi. Negara berarti ‘persekutuan bangsa dalam suatu daerah yang tentu batas-batasnya dan diurus oleh badan peme­rintah yang teratur’. Kata negara berpadanan dengan kata state (Inggris) atau staat (Belanda). Kata negara digunakan jika bertalian dengan sudut pandang politik, pemerintahan, atau ketataprajaan.Berdasarkan pengertian kedua kata itu, kita telah mengubah bentuk pegadaian negeri, kas negeri, ujian negeri menjadi pegadaian negara, kas negara, ujian negara. Sejajar dengan perubahan itu, jika kita bertaat asas pada pengertian negeri dan negara, sebaiknya bentuk pegawai negeri, sekolah negeri, perguruan tinggi negeri, pengadilan negeri diubah pula menjadi pegawai negara, sekolah negara, perguruan tinggi negara, pengadilan negara jika memang badan-badan itu diurus oleh badan pemerintah secara teratur.

Relawan atau Sukarelawan?
Dalam pemakaian bahasa Indonesia sering kita temukan penggunaan kata relawan dan sukarelawan. Penggunaan kedua kata itu menyebabkan sebagian pemakai bahasa mempertanyakan bentuk manakah yang benar dari kedua kata itu? Dalam hal ini, kita perlu memahami imbuhan –wan itu berasal dari bahasa sansekerta. Imbuhan itu digunakan bersama kata nomina,
seperti pada kata    bangsa + -wan   Ã         bangsawan           
harta + -wan    Ã         hartawan
rupa + -wan     Ã         rupawan
Imbuhan itu menyatakan tentang ‘orang yang memiliki benda seperti yang disebutkan pada kata dasar’. Jadi, bangsawan berarti ‘orang yang memiliki bangsa’ atau ‘keturunan raja dan/atau kerabatnya’; hartawan ‘orang yang me­mikili harta’, dan rupawan ‘ orang yang memiliki rupa yang elok’ atau ‘orang yang elok rupa’. Dalam perkembangannya, arti imbuhan –wan meluas. Pada kata ilmuwan, negarawan, fisikawan, misalnya, imbuhan –wan menyatakan ‘orang yang ahli dalam bidang yang disebutkan pada kata dasarnya’. Dengan demikian, ilmuwan berarti ‘orang yang ahli dalam bidang ilmu tertentu’; negarawan ‘orang yang ahli dalam bidang kenegaraan’; dan fisikawan ‘orang yang ahli dalam bidang fisika’. Pada kata seperti olahragawan, peragawan, dan usahawan, imbuhan –wan berarti ‘orang yang berprofesi dalam bidang yang disebutkan pada kata dasar’. Jadi, olah­ragawan berarti ‘orang yang memiliki profesi dalam bidang olahraga’; peragawan ‘orang yang berprofesi dalam bidang peragaan’, dan usahawan ’rang yang berprofesi dalam bidang usaha (tertentu)’. Pada contoh itu terlihat bahwa imbuhan –wan pada umumnya dilekatkan pada kata benda (nomina), seperti bangsa, harta, ilmu, olahraga, usaha, dan peraga. Imbuhan -wan tidak pernah dilekatkan pada kata kerja (verba). Berdasarkan kenyataan itu, penggunaan imbuhan –wan pada kata relawan di­pandang tidak tepat. Hal itu sama saja kasusnya dengan penambahan –wan pada kata kerja pirsa yang menjadi pirsawan. Dalam hal ini pilihan bentuk kata yang benar adalah pemirsa, yaitu orang yang melihat dan memperhatikan atau menonton siaran televisi. Kata sukarelawan mengandung pengertian orang yang dengan sukacita melaku­kan sesuatu tanpa rasa terpaksa. Kata sukarela ini berasal dari kata dasar sukarela dan imbuhan -wan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:970) pun, bentuk kata yang ada adalah sukarelawan, sedangkan kata relawan tidak ada. Oleh karena itu, kata yang sebaiknya kita gunakan adalah sukarelawan, bukan relawan.  

Rekonsiliasi, Islah, Rujuk
Ketiga istilah itu sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari Rekon­siliasi (Inggris: reconciliation) berarti 'proses merestorasi atau memulihkan suatu ke­adaan agar menjadi seperti keadaan semula'.
 Yang dipulihkan ialah 'keadaan yang telah berubah dari keadaan semula itu'.
Misalnya, karena keadaan kacau, dilakukan rekonsiliasi, hasilnya ialah keadaan tertib kembali. Makna rekonsiliasi bertalian dengan konsiliasi
(Inggris: conciliation) yang berarti 'usaha mem­pertemukan keinginan
pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan untuk menyelesaikan
perselisihan'.
Istilah islah berasal dari bahasa Arab m؇[, yang berarti 'perdamaian'. Mula-mula islah digunakan di lingkungan umat Islam, yaitu ketika dua kelompok yang bertikai segera berislah atau berdamai'. Kini istilah itu sudah menjadi kata umum dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah rujuk lebih menyiratkan makna bahwa apa-apa yang akan disatukan itu
sudah dalam keadaan bercerai. Istilah yang diserap dari bahasa Arab itu berarti 'kembali'. Semula rujuk digunakan di dalam hukum perkawinan Islam untuk menyatakan konsep 'menyatukan kembali suami istri yang telah dipisah­kan oleh talak'. Pemakaian istilah rujuk itu kini meluas, misalnya untuk me­lambangkan konsep menyatukan kembali dua pihak yang telah berpisah akibat bertikai atau berselisih.
Di dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sekarang muncul istilah rajuk nasional, untuk menyatakan konsep 'menyatukan kembali pihak-pihak yang
telah berpisah atau terpisahkan ke dalam wadah nasional yang satu, Indonesia'.

Rakyat dan Masyarakat
Kata rakyat dan masyarakat mempunyai makna yang mirip.
Kata rakyat berkaitan dengan sebuah negara, sedangkan kata masyarakat ber­kenaan de­ngan kelompok sosial yang tinggal di suatu wilayah negara. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata rakyat berarti 'segenap pen­duduk suatu negara, sedangkan masyarakat berarti 'sejumlah manusia yang terikat oleh suatu ke­budayaan yang mereka anggap sama'. Di da­lam bahasa Inggris kata rakyat maknanya sama dengan kata people dan di dalam bahasa Belanda disamakan maknanya dengan kata volks.
Padanan kata masyarakat di dalam bahasa Inggris adalah community. Makna kata itu berkaitan dengan adat-istiadat dan budaya yang sama, se­perti dalam ungkapan masyarakat desa, yaitu kelompok sosial yang ter­ikat oleh kesamaan tatanan dan tradisi serta pola hidup yang berlaku di lingkungan per­desaan.

Pertandingan dan Perlombaan
Jika kita cermati, kata pertandingan dan perlombaan mempunyai persama­an dan perbedaan arti.
 Persamaannya ialah bahwa kedua kata tersebut sama-sama mengan­dung arti 'persaingan'. Sebuah pertandingan akan berlangsung seru apabila terjadi persaingan yang kuat antarpihak yang bertanding. Begitu pula perlombaan. Sebuah perlombaan akan sa­ngat menarik apabila peserta perlombaan itu bersaing ketat. Di samping persamaan sebagaimana dikemukakan di atas, kata per­tan­dingan dan perlombaan mempunyai perbedaan arti. Kata per­tandingan dibentuk dari kata dasar tanding. Di dalam kamus kata tanding mempu­nyai dua arti (1) 'seimbang atau se­banding' dan (2) 'satu lawan satu'. Dari kata tanding itu kemudian diturunkan, antara lain, kata ber­tanding yang berarti 'berlawanan', mempertandingkan yang berarti 'mem­buat bertanding dengan menghadapkan dua pemain atau dua regu'. Dengan demikian, dapat dicatat bahwa dalam kata pertandingan tersirat makna dua pihak yang berhadapan. Berikut contoh pe­makaiannya dalam kalimat. (1)        Pertandingan sepak bola itu tetap berlangsung walaupun diguyur hujan. (2)        Televisi swasta itu menyiarkan secara langsung pertandingan tinju profesional secara rutin.   Pada kedua contoh di atas kata pertandingan digunakan untuk jenis olah­raga yang menghadapkan dua pihak. Pada jenis olahraga sepak bola pihak yang ber­hadapan adalah dua kesebelasan dan pada olahraga tinju pihak yang berhadapan adalah dua orang petinju. Kata perlombaan diturunkan dari kata dasar lomba. Kata lomba mempunyai dua arti, yaitu 'adu' (kecepatan, keterampilan; ketangkasan). Kata lomba itu diturunkan menjadi perlombaan yang berarti 'kegiatan mengadu ketangkasan atau keterampilan'. Dengan demikian, persaingan dalam sebuah perlombaan antarpihak yang terlibat tidak saling berhadapan sebagaimana dalam pertan­dingan. Di bawah ini diberikan contoh pemakaian kata perlombaan dalam kalimat. (3)        Panitia Peringatan Hari Proklamasi menyelenggarakan berbagai perlom­ba­an, seperti balap karung, balap bakiak, dan lomba lari. (4)        Salah satu perlombaan yang banyak peminatnya adalah baca puisi. Dari dua contoh di atas jelaslah bahwa yang terlibat dalam setiap kegiatan tersebut tidak hanya dua pihak yang saling berhadapan, tetapi dapat terdiri atas beberapa pihak dan tidak saling berhadapan seperti pada pertandingan.  

Perluasan Makna
Perubahan maujud yang ditunjuk oleh lambang bunyi bahasa (kata) ter­tentu tidak selalu harus diikuti oleh penciptaan kata baru.
 Bahkan, perubahan yang sangat radikal sekalipun sering tidak diikuti oleh perubahan nama, seperti yang terjadi pada kata kereta api dan saudara. Hal
itu ter­jadi karena pertumbuh­an dan perkembangan bahasa dalam fungsinya se­bagai sarana pendukung per­tumbuhan dan perkembangan ilmu pengeta­huan dan teknologi.
Kata kereta api semula digunakan untuk mengacu pada 'benda yang ber­fungsi
sebagai sarana transportasi yang berupa kendaraan (kereta) beroda besi dan
dijalan­kan di atas rel besi dengan tenaga penggerak yang berasal dari api kayu bakar atau batu bara’. Namun, di dalam pertumbuh­an dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bahan bakar pem­bangkit tenaga yang diguna­kan
diganti dengan solar dan mesin pengge­raknya adalah mesin diesel. Bahkan, ada
yang digerakkan/dijalankan de­ngan tenaga listrik. Meskipun mesin peng­gerak
dan tenaga pembang­kitnya sudah diganti, penyebutan benda itu tetap saja kereta api, bukan "kereta solar". Namun, se­suai dengan bahan pembangkit tenaganya alih-­alih orang menyebutnya dengan me­nambahkan kata keterangan diesel atau listrik sehingga menjadi kereta api diesel dan kereta api
listrik
, yang alih-alih disebut kereta listrik.
Kata-kata lain yang mengacu pada benda yang mengalami perubahan struktur maujud seperti kereta api ialah kata berlayar.
Kata lain yang memiliki perkembangan makna ialah kata bapak, ibu, adik,
dan saudara.
Kata berlayar mengandung makna 'bepergian dengan menggunakan pe­rahu layar'.
Dalam perkembangannya, kata itu mengalami perkem­bangan mak­na, yaitu bepergian melalui lintas laut atau lintas sungai de­ngan menggunakan sarana angkutan laut atau sarana angkutan sungai, baik yang masih mengguna­kan layar maupun yang sudah tidak menggunakan layar.
Kata bapak, ibu, adik, abang, dan saudara semula hanya digunakan untuk
meng­acu pada orang yang memiliki pertalian darah. Akan tetapi, sesuai dengan
perkem­bangan dan pertumbuhan budaya masyarakat, kata-­kata itu mengalami
perluasan makna. Kata-kata tersebut tidak hanya digu­nakan untuk menyebutkan
orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan sedarah, tetapi juga digunakan untuk menyapa bukan kerabat sebagai tanda hormat atau kede­katan orang yang disapa.
Kata yang biasa digunakan untuk menyebut atau menyapa dengan ra­sa hormat dan rasa kedekatan hubungan persahabatan, antara lain, ialah bang atau bung,
seperti Bang Ali, sebagai panggilan/sapaan akrab kepada mantan Gubernur
DKI, Bapak Ali Sadikin, dan Bung Tomo, sebagai panggilan/sapaan
akrab kepada dokter Soetomo, atau Bung Karno, sebagai panggilan/sapaan akrab kepada Ir. Soekarno, seorang tokoh pejuang dan proklamator kemerdeka­an Republik Indonesia.

Penjualan dan Pemasaran
Selling (Inggris) dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan perjualan, sedang­kan marketing (Inggris) dipadankan dengan pemasaran.
 Secara sepintas kedua konsep itu seperti tidak berbeda. Akan tetapi, sebenarnya keduanya mempunyai perbedaan yang tajam. Konsep penjualan dimulai dengan produk yang sudah ada dan perlu dilakukan usaha keras agar tercapai penjualan yang menghasilkan laba. Konsep pemasaran dimulai dengan sasaran pelanggan perusahaan, kemu­dian memadukan dan mengoordinasikan semua kegiatan yang akan mempe­ngaruhi kepuas­an pelanggan sehingga perusahaan akan men­capai laba melalui upaya penciptaan dengan mempertahankan kepuasan pelanggan itu. Berikut beberapa istilah yang erat kaitannya dengan penjualan dan pema­saran produk atau jasa. (1)        Retailing (Inggris) dipadankan dengan penjualan (secara) eceran. Semua kegiatan penjualan barang dan jasa untuk pemakaian pribadi/rumah tangga dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir. (2)        Franchising (Inggris) dipadankan dengan waralaba, yakni salah satu tipe ke­pemilikan retailing dengan persetujuan kontrak oleh perusaha­an induk dan perusahaan kecil. Di dalam persetujuan kontrak ter­sebut, perusahaan besar menjamin perusahaan kecil/individu (fran­chise) akan hak menjalan­kan usaha dalam kondisi tertentu. Salah satu keuntungan membeli franchise adalah pewaralaba tetap inde­penden meskipun tidak sepenuh­nya, tetapi memperoleh manfaat dari nama merek dan pengalaman dari jaringan franchising itu. (3)        Multilevel marketing (MLM) dipadankan dengan pemasaran berting­kat, pemasaran berlapis, pemasaran berjenjang, atau piramida penju­alan. MLM adalah salah satu variasi penjualan produk atau jasa de­ngan cara pe­rekrutan distributor atau usahawan independen dan para distributor ter­sebut bertindak sebagai distributor untuk produk mere­ka. Selanjutnya, para distributor tersebut akan merekrut dan menjual barang kepada subdistri­butor yang akhirnya subdistributor akan me­rekrut orang lain lagi untuk men­jual produk mereka. Imbalan yang akan diperoleh distributor adalah per­sentase penjualan terhadap total penjualan kelompok yang direkrut distri­butor tersebut. Hal itu ber­arti bahwa setiap distributor memperoleh manfaat dengan mengem­bangkan jaringan seluas-luasnya sehingga memperoleh pendapatan yang dihitung berdasarkan keaktifan jaringannya.  

Penggunaan kepada
Kata kepada yang sering kita lihat dalam
penulisan alamat surat, sebenarnya demi kecermatan berbahasa, tidak perlu lagi
digunakan.
 Tanpa digunakannya kata kepada pun alamat surat yang dimaksud sudah jelas. Dalam hal itu, cukup digunakan frasa Yang Terhornat yang disingkat Yth. (diakhiri tanda titik). Oleh karena itu, penulisan alamat surat sebaiknya sebagai berikut.
Yth. Sdr. Endang Pratiwi
Jalan Gelatik Dalam X/151 A
Bandung 40133

Singkatan kata atau kata
untuk gelar akademis, pangkat, dan jabatan pada penulisan alamat surat tidak
perlu diawali dengan kata sapaan Bapak atau Ibu karena gelar
akademis dan pangkat itu sudah merupakan penghargaan kepada orang yang akan
dikirimi surat. Akan tetapi, apabila adat-istiadat setempat mengharuskan
pencantuman kata sapaan, penggunaannya dapat dibenarkan walaupun sebenarnya
merupakan hal mubazir.
Contoh:
Yth. Dr. Sudrajat                              Yth. Prof. Dr. Sanjaya
Jalan Daksinapati 1000                          Jalan Kasunanan
Jakarta 13220                                   Jakarta 13220




Pemirsa dan Pirsawan
Kata pirsa jika diberi imbuhan pe- menjadi pemirsa. Kata pirsa (berkategori verba) berasal dari daerah yang berarti ‘tahu’ atau ‘melihat’. Kata pemirsa, berarti ‘orang yang melihat atau mengetahui’. Kata itu kemudian digunakan sebagai istilah di dalam media massa elektronik, khususnya televisi yang secara khusus diberi makna ‘orang yang menonton/melihat siaran televisi atau pe­nonton televisi’.
Prefiks pe- (bertalian dengan prefiks verbal me-) di dalam bahasa Indone­sia, antara lain, mengandung makna ‘orang yang me-‘ atau ‘orang yang me­lakukan’. Kata pirsawan sebaiknya dihindari sebab kata itu dibentuk dari kata dasar verba pirsa dan imbuhan –wan, yang merupakan bentuk kata tak lazim. Imbuhan –wan lazim dilekatkan pada kata dasar yang berupa nomina rupa, à rupawan, harta à hartawan, dan warta à wartawan; atau dilekatkan pada adjektiva, seperti setia à setiawan.

Pemimpin dan Pimpinan
Kata pemimpin dan p[impinan sama-sama merupakan kata baku di dalam bahasa Indonesia. Kedua kata itu dapat digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia dengan makna yang berbeda.
Kata pemimpin mengandung dua makna, yaitu"orang yang memimpin' dan 'petunjuk' atau 'pedoman'. Dari maknanya yang kedua dapat diketahui bahwa buku, misalnya, yang digunakan sebagai petunjuk atau pedoman, selain dapat disebut buku petunjuk atau buku pedoman, juga disebut buku pemimpin.
Kata pimpinan ada hubungannya dengan memimpin. Dalam hal ini, pimpinan merupakan hasil dari proses memimpin.
Kata pimpinan juga mempunyai arti lain, yaitu 'kumpulan para pemimpin'. Dalam pengertian itu, kata pimpinan lazim digunakan dalam ungkapan seperti rapat pimpinan, unsur pimpinan, atau pimpinan unit.
Sejalan dengan itu, akhiran -an pada kata pimpinan bermakna 'kumpulan', yakni 'kumpulan para pemimpin'.

Paradigma
Ada sebagian orang yang menanyakan arti kata paradigma.
 Apakah yang dimaksud dengan istilah paradigma, seperti dalam contoh kalimat
berikut.
(1)        TNI sekarang hadir dengan paradigma baru.
(2)        PDI P mengalami pergeseran paradigma
Paradigma berasal dari bahasa
Yunani Kuno, para- dan deiknynai,
yang berarti 'mempertunjukkan'. Bahasa Indonesia menyerap kata itu dari bahasa Inggris paradigm yang berarti 'contoh' atau 'pola' atau 'bentukan dari
sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut', atau
'model dalam teori ilmu pengetahuan'. Kemudian, kata itu diserap ke dalam
bahasa Indonesia melalui penyesuaian ejaan dan lafal menjadi paradigma.
Di dalam perkembangan maknanya kata itu mengalami penambahan dan pe­ngurangan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemu­kan kata paradigma yang berarti 'contoh' atau 'pola'. Akan tetapi, di da­lam kamus itu ada penambahan makna yang barkaitan dengan 'kerangka berpikir'. Penggunaan kata paradigma pada kalimat (1) dan (2) berkaitan dengan 'kerangka berpikir' itu.

Paling Lama atau Paling Lambat  
Di dalam berbagai pasal undang-undang yang mengatur sanksi sering ditemukan istilah paling lama dan paling lambat.
 Kadang-kadang kedua istilah itu digunakan secara tidak tepat, sebagaimana contoh berikut.
(1)           Putusan pengadilan tingkat banding diucapkan paling lama dua             minggu setelah sidang banding pertama dilakukan.
Contoh
itu terasa tidak masuk akal karena sebuah putusan tidak diucapkan sampai
mencapai durasi paling lama dua minggu. Bukankah pengucapan sesuatu hanya
berlangsung sesaat?
Yang dimaksud dengan pernyataan pada kalimat (1) ialah 'batas waktu', atau 'batas akhir' pengeluaran putusan, bukan lama waktu sesuatu diucapkan. Untuk itu, istilah yang tepat ialah paling lambat, bukan paling lama dan verba yang digunakan bukan diucapkan, melainkan mi­salnya dikeluarkan sehingga kalimat (1) itu diperbaiki seperti berikut.
(la)  Putusan pengadilan tingkat banding dikeluarkan paling lambat dua     minggu setelah sidang banding pertama dilakukan
Istilah paling lama digunakan untuk menunjukkan 'rentang waktu',
'durasi', atau 'lama waktu sesuatu berlangsung' seperti pernyataan berikut ini.
(2)           ... dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Paling lama pada contoh (2)
berarti 'rentang waktu terkena pidana penjara' atau 'lama waktu pidana penjara berlangsung'.
Selain paling lambat pada kalimat (la) dan paling lama pada kalimat (2),
dapat juga digunakan selambat-lambatnya dan selama-lamanya sehingga
masing-masing dapat diubah seperti berikut.
(1b)      Putusan pengadilan tingkat banding diucapkan selambat-lambatnya dua minggu setelah sidang banding pertama dilakukan.
(2a) ... dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda paling banyak Rp l.000.000.000, 00
(satu miliar ru­piah)
. 
Paling lama juga bermakna 'terlama' seperti contoh berikut.
(3)        Saya pernah menetap di beberapa kota,
tetapi yang paling lama/ terlama di Jakarta
Paling lambat tidak selalu bermakna 'terlambat' sebab terlambat dapat juga bermakna 'telah lewat waktu'. Pertimbangkan contoh berikut.
(4) Dia peserta yang terlambat/paling lambat, bukan peserta yang ter­cepat dalam lomba lari cepat pagi ini.
(5)la tidak boleh masuk sebab datang terlambat. 
Makna terlambat pada kalimat (4) berarti 'paling lambat' atau 'pa­ling rendah
kecepatannya di antara peserta', tetapi terlambat pada kalimat (5) berarti
'telah lewat waktu' atau 'telah lewat batas akhir' (masuk).

Nyaris dan Hampir
Kata hampir dan nyaris mempunyai kemiripan arti. Keduanya me­nyatakan hal yang dekat dengan peristiwa atau keadaan tertentu.
Perbedaannya ialah bahwa kata hampir bersifat netral; mungkin berkaitan dengan hal yang tidak diinginkan, mungkin pula tidak. Kata nyaris cenderung dikaitkan dengan peristiwa yang tidak diinginkan: bahaya, kecelakaan, kemalangan, dan sebagainya.
(1)    Mobil kami hampir kehabisan bensin ketika sampai di Semarang.
(2)      Kedua pesawat penumpang itu nyaris bertabrakan.

Kata hampir mengandung makna ‘belum’ dan mengisyaratkan bahwa peristiwa yang dimaksudkan itu selanjutnya dapat terjadi. Pada kalimat (1), misalnya, mobil itu dapat benar-benar kehabisan bensin setelah melewati Semarang. Contoh lain terdapat pada kalimat berikut ini.
(3)    Hari sudah hampir malam.
Kata nyaris tidak mengisyaratkan berlangsungnya suatu proses. Pada kalimat (2) di atas, misalnya, tidak diisyaratkan bahwa peristiwa tabrakan betul-betul terjadi sesudah itu. Dalam hal ini, kata nyaris sepadan dengan hampir saja seperti pada kalimat berikut.
(4)    Kedua pesawat penumpang itu hampir saja bertabrakan.

Untuk peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan bahaya atau kecelakaan, kita dapat menggunakan hampir saja dan bukan nyaris.
Contohnya seperti pada kalirnat berikut ini.
(5)    Ia hampir saja menjadi juara dalam turnamen itu.

Untuk menyatakan hal yang mendekati keadaan atau sifat tertentu dapat digunakan kata hampir-hampir dan bukan nyaris. Berikut ini contohnya.
(6)    Gerakannya hampir-hampir sempurna.
(7)    Ia manusia yang hampir-hampir tidak mengenal menyerah.

Setelah memperhatikan pengertian dan perbedaan kata nyaris dan hampir itu, diharapkan kita dapat lebih cermat dalam mempergunakan­nya sesuai dengan keperluan kita.

Menyolok atau Mencolok
Kata menyolok dan mencolok sama-sama sering digunakan oleh pemakai bahasa Indonesia. Meskipun demikian, di antara keduanya hanya satu bentukan yang sesuai dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia.
Untuk mengetahui bentukan kata yang benar, kita perlu mengetahui kata dasar dari bentukan itu. Untuk itu, kita dapat memeriksanya dalam kamus. Dalam kamus bahasa Indonesia, terutama Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata hanya ada kata dasar colok. Tampaknya, perbedaan bentukan kata itu timbul karena adanya perbedaan pemahaman mengenai proses terjadinya bentukan kata itu. Sesuai dengan kaidah, kata dasar yang berawal dengan fonem /c/, misal­nya cuci dan cium, jika mendapat imbuhan me-, bentuknya menjadi mencuci dan mencium, bukan menyuci dan menyium, karena fonem /c/ pada awal kata dasar tidak luluh. Sejalan dengan penjelasan tersebut, kata dasar colok yang juga berawal dengan fonem /c/, jika mendapat imbuhan me-, bentuknya menjadi mencolok, bukan menyolok. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia bentuk kata yang baku adalah mencolok bukan menyolok. Kata mencolok di samping mempunyai makna ‘menusuk benda ke mata’, juga dapat bermakna ‘perbedaan yang sangat tajam’. Perbedaan makna ter­sebut dapat dilihat dari konteks penggunaannya.  Contoh: (1)        Anak itu mencolok mata adiknya dengan telunjuknya. (2)        Perbedaan pendapatan antara masyarakat desa dan masyarakat kota sangat mencolok.

Mengkritik atau Mengkritisi?
Dalam berbagai wawancara kita sering mendengar orang mengatakan mengkritisi, seperti dalam kalimat Kita harus tetap mau mengkritisi pemerintah agar kinerja bertambah baik. Betulkah pemakaian kata mengkritisi itu?
Kritik (nomina) dan critics (Inggris) dapat diturunkan menjadi verba mengkritik, yang berarti ‘melakukan kritik’ atau ‘memberikan kritik’ (Inggris: to criticize atau to give critical opinion). Mengkritisi merupakan bentuk yang salah karena seharusnya mengkritik, yang berasal dari meng- + kritik, seperti juga meng- + gunting dan men- + cangkul. Walaupun kritik, gunting, dan cangkul berkelas nomina, menggunting, mengkritik, dan mencangkul berkelas verba.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata kritisi dan kritikus, tetapi nomina itu tidak dibentuk menjadi verba. Jadi, bentuk  mengkritik. Bukankah
àyang benar adalah meng + kritik (pangkal verba) kita juga tidak mengatakan mempolitisi, mengakademisi, dan memusisi, tetapi mempolitik (kan), mengakademikan, dan memusik (kan).
Dalam berbagai wawancara kita sering mendengar orang mengatakan mengkritisi, seperti dalam kalimat Kita harus tetap mau mengkritisi pemerintah agar kinerja bertambah baik. Betulkah pemakaian kata mengkritisi itu?
Kritik (nomina) dan critics (Inggris) dapat diturunkan menjadi verba mengkritik, yang berarti ‘melakukan kritik’ atau ‘memberikan kritik’ (Inggris: to criticize atau to give critical opinion). Mengkritisi merupakan bentuk yang salah karena seharusnya mengkritik, yang berasal dari meng- + kritik, seperti juga meng- + gunting dan men- + cangkul. Walaupun kritik, gunting, dan cangkul berkelas nomina, menggunting, mengkritik, dan mencangkul berkelas verba.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata kritisi dan kritikus, tetapi nomina itu tidak dibentuk menjadi verba. Jadi, bentuk  mengkritik. Bukankah
àyang benar adalah meng + kritik (pangkal verba) kita juga tidak mengatakan mempolitisi, mengakademisi, dan memusisi, tetapi mempolitik (kan), mengakademikan, dan memusik (kan).

Menghindari dan Menghindarkan
Kata menghindari dan menghindarkan tidak dibentuk dari kata dasar hindar serta imbuhan me--i dan me-…-kan, tetapi berasal dan bentuk hindari dan hindarkan yang mendapat awalan me-.
Kedua kata itu pemakaiannya sering dikacaukan karena pada umumnya orang menganggap bahwa kedua kata itu memiliki makna yang sama. Akibatnya, kedua kalimat seperti berikut ini dianggap mengandung informasi yang sama.
(1)   Kami telah berusaha menghindari kesulitan.
(2)   Kami telah berusaha menghindarkan kesulitan.

Jika kita cermati, tampak bahwa kedua kalimat itu sebenamya berbeda.
Pemakaian kata menghindari mengisyaratkan bahwa yang bergerak bukanlah objek, melainkan subjek atau pelakunya. Dengan demikian, kesulitan yang merupakan objek kalimat (1) sebenamya tetap ada dan juga tetap tidak teratasi karena subjek kami yang bergerak pada kalimat itu hanya mengupayakan atau mencari jalan yang lain agar tidak berhadapan dengan kesulitan. Hal itu berbeda dengan penggunaan kata menghindarkan pada kallmat (2). Pada kalimat (2) itu yang bergerak adalah objeknya, yaitu kesulitan bukan subjeknya. Karena bergerak, kesulitan itu sudah teratasi sehingga tidak ada lagi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan contoh pemakaian kata menghindari dan menghindarkan, yang tepat dengan objek yang konkret.
(3)   Kecelakaan itu terjadi karena sopir bus tidak dapat menghindari sedan yang melaju dari arah depan.
(4)   Dia sudah berusaha menghindarkan mobil yang dikendarainya itu dari terjngan bus kota.

Kedua contoh tersebut diharapkan dapat memperjelas penggunaan kata menghindari dan menghindarkan pada khususnya dan imbuhan -i serta -kan pada umumnya. Sebagai patokan, perlu dipahami bahwa kalimat yang predikatnya berupa kata kerja yang berakhiran -i secara umum, objeknya tidak bergerak. Sebaliknya, jika predikatnya berupa kata kerja yang berakhiran -kan, lazimnya objek kalimat itu bergerak. Ciri makna tentang bergerak atau tidak bergeraknya objek juga tampak pada kalimat yang predikatnya berupa kata melempari dan melemparkan seperti di bawah ini.
(5)   Anak itu melempari mangga dengan batu.
(6)   Toto melemparkan mangga itu ke dalam keranjang.

Objek mangga pada kalimat (5) memperlihatkan ciri makna yang berbeda dengan mangga pada kalimat (6). Pada kalimat (5) mangga merupakan objek yang tidak bergerak, sedangkan pada kalimat (6) mangga merupakan objek yang bergerak.

Mengapa Realestat dan Estat?
Beberapa nama permukiman baru, seperti Taman Cipulir Estate dan Permata Bekasi Real Estate diganti menjadi Estat Taman Cipulir dan Realestat Permata Bekasi.
Tepatkah penggantian itu? Real estate dan estate berasal dari bahasa Inggris dan termasuk istilah bidang properti. Dalam bahasa asalnya, real estate merupakan kata majemuk, yang berarti 'harta tak bergerak yang berupa tanah, sumber alam, dan bangunan'. Istilah real estate dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi lahan yasan.
Lahan berarti 'tanah garapan', sedangkan yasan dalam ba­hasa Indonesia (yang diserap dari bahasa Jawa) berarti 'sesuatu yang di­buat atau didirikan'. Penerjemahan itu dilakukan ber­dasarkan konsep makna istilah yang dikandungnya, bukan berdasarkan makna kata demi kata. Contoh penerjemahan serupa terjadi pada kata supermarket yang dipadankan dengan pasar swalayan. Sementara itu, kata estate dapat di­terjemahkan menjadi bumi, bentala, atau kawasan. Kata mana yang hen­dak di­pilih ditentukan oleh konteks penggunaan kata itu. Untuk mengin­donesiakan istilah industrial estate, kita dapat memilih kawasan industri. Untuk nama pe­rumahan, kita dapat melakukan pilihan secara lebih le­luasa.
Harus diakui bahwa pemadanan kata real estate itu dilakukan sete­lah
kata itu banyak digunakan, termasuk padanan kata untuk nama ka­wasan. Sebagai
akibatnya, orang sempat berpikir bahwa kata itu tidak mempunyai padanan. Hal
yang lazim terjadi adalah bahwa kata asing yang tidak berpadanan itu diserap
dengan penyesuaian ejaan dan lafal, seperti accurate, chocolate, conglomerate,
dan dictate yang masing­masing menjadi akurat, cokelat, konglomerat,
dan diktat. Itu sebabnya orang mengindonesiakan real estate
menjadi realestat. Bentuk kata yang terakhir itulah yang kemudian dipiIih
oleh para pengusaha di bidang pembangunan rumah tinggal walaupun kata lahan
yasan memiliki makna konsep yang sama.
Lalu, bagaimana pelafalannya? Lafal realestat sama dengan lafal suku kata yang
serupa pada kata akurat, cokelat, konglomerat, dan diktat, tidak dilafalkan [akuret], [cokelet], [konglomeret], dan [diktet]. Persoalan selanjutnya ialah mengapa realestat ditulis satu kata. Kata itu di­perlakukan sebagai satu kata karena kita tidak mem­pertahankan makna unsur-unsurnya. Contoh serapan yang demikian adalah kudeta dari coup d'etat, dan prodeo dari pro deo.
Jika kata realestat itu digunakan untuk nama permukiman, susunan kata­nya
perlu diperhatikan agar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Misalnya: Realestat Cempaka, bukan Cempaka Realestat. Akan tetapi, jika
ternyata kita mempunyai kata Indonesia untuk makna konsep istilah asing tertentu, mengapa kita tidak memilih dan menggunakan istilah Indonesia dengan rasa bangga. Bukankah penggunaan kata nama berikut juga indah? Misalnya,
Bumi Kencana Indah, Bentala Sekar Melati, Pon­dok Mitra Lestari, dan Puri Kembangan.

Menemui dan Menemukan
Di dalam percakapan sehari-hari kata menemui dan menemukan sering di­pertukarkan pemakaiannya, padahal kedua kata itu berbeda.
 Kedua kata itu diturunkan dari kata dasar temu, yang sama-sama mendapat awalan meng-, tetapi dengan akhiran yang berbeda. Akibatnya, terjadilah perbedaan bentuk, makna, dan pemakaiannya. Urutan pembentukan ke­dua kata itu seperti berikut.   temu              temukan                     menemukan                                      temui                       menemui   Kata menemukan berarti 'mendapatkan sesuatu yang belum pernah ada'; 'mendapatkan sesuatu yang memang sudah ada sebelumnya'; 'me­ngalami' atau 'menderita'; 'mendapatkan'. Kita perhatikan contoh berikut. (1)        Marconi adalah orang pertama yang menemukan pesawat radio. (2)        Columbus menemukan Benua Amerika pada 1492.   Marconi menemukan benda teknologi (radio) yang belum pernah ditemu­kan sebelumnya, tetapi Columbus menemukan Benua Amerika yang memang sudah ada. Radio adalah sebuah temuan atau invensi (invention), tetapi temuan (discovery) Columbus tidak dapat disebut invensi. Kata menemui memiliki banyak arti, antara lain, 'menjumpai' atau 'me­ngunjungi', seperti dalam contoh berikut. (3)        Besok kami akan menemui (mengunjungi) penghuni panti jompo. (4)        Ketika sampai, saya akan segera menemui (menjumpai) ketua yaya­sannya.     Kata menemui juga digunakan dalam ungkapan menemui ajal, yang berarti 'memenuhi (panggilan) ajal', seperti dalam kalimat berikut. (5)        Manusia jangan hanya berpikir bahwa hidup ini hanya sekadar menemui takdir lllahi.   Di samping itu, kata menemui juga berarti 'memenuhi kesepakatan', seperti pada contoh berikut ini. (6)        Saya datang kemari untuk menemui janji ayahmu.

Menanyakan dan Mempertanyakan
Kata menanyakan dan mempertanyakan dibentuk dari kata dasar yang sama, yaitu tanya.  Yang berbeda adalah imbuhan dan pengimbuhannya. Per­bedaan imbuhan yang melekat pada kata dasar menyebabkan perbedaan arti pada kata jadiannya. Arti kata menanyakan berbeda dari mempertanyakan. Namun, pada kenyataannya, arti kedua kata jadian itu sering dianggap sama, seperti contoh berikut.
(1)  Kepada penceramah seorang peserta menanyakanlmemper­tanyakan bantuan dana yang telah digulirkan pemerintah.

Pemakaian kedua kata di atas tentu dengan makna yang berbeda. Ber­dasarkan konteksnya, kalimat di atas itu mengandung maksud bahwa ada pe­serta yang meminta penjelasan penceramah tentang bantuan dana yang telah digulirkan pemerintah. Karena maksudnya hanya satu, padahal dilambangkan dengan dua kata yang berbeda, yaitu menanyakan dan mempertanyakan, tentu pemakaian itu tidak tepat. Oleh karena itu, harus dipilih salah satu di antara kedua kata itu. Lalu,
manakah yang tepat di antara kedua kata tersebut?
Untuk dapat menentukan pilihan yang tepat, harus lebih dahulu di­ketahui perbedaan makna menanyakan dan mempertanyakan. Kata mena­nyakan
berarti 'me­minta keterangan tentang sesuatu' dan kata memper­tanyakan
berarti 'mem­persoalkan' atau 'menjadikan sesuatu sebagai ba­han
bertanya-tanya'. Perbeda­an­nya adalah bahwa kata menanyakan me­nuntut
jawaban langsung, sedangkan mempertanyakan meminta penje­lasan. Dengan
demikian, untuk maksud di atas, lebih tepat digunakan ka­ta menanyakan
seperti berikut.
(2) Kepada penceramah seorang peserta menanyakan bantuan dana yang diguna­kan pemerintah
Kata mempertanyakan digunakan seperti pada kalimat berikut.
(3)Beberapa orang mempertanyakan kehadiran tokoh itu.
(4) Masyarakat mempertanyakan keberadaan pedagang kaki lima di ling­kungannya.

Kalimat (3) dan (4) di atas masing-masing mengandung maksud bahwa 'sejumlah orang yang bertanya-tanya tentang keberadaan tokoh itu' dan 'masyarakat bertanya-tanya
tentang keberadaan kaki lima’. Untuk itu, mereka membutuhkan penjelasan dari
pihak tertentu. Jadi, kalimat (3) dan (4) tidak menghendaki jawaban ya-tidak,
tetapi penjelasan.

Masyarakat Madani
Kata madani berarti 'berhubungan dengan kota Madinah"
Pada masa Nabi Muhammad SAW. masyarakat kota Madinah sudah berpera­daban inggi, santun, menghormati pendatang, patuh kepada norma dan hukum yang berlaku, memiliki rasa toleransi yang tinggi yang dilandasi penguasaan iman, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Atas dasar pernalaran tersebut, "masyarakat madani" berarti masya­rakat
yang memiliki peradaban tinggi, santun, menjunjung tinggi nor­ma dan hukum yang berlaku yang dilandasi penguasaan iman, ilmu pe­ngetahuan, dan teknologi.
Di dalam perkembangan kontak budaya "masyarakat madani" diguna­kan
sebagai padanan kata Inggris civil society.

Manakah yang benar mempercayai atau memercayai?
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari, dijumpai bentuk penulisan atau pengungkapan kata mempercayai (p tidak luluh) dan memercayai (p luluh).
Keadaan semacam itu menunjukkan belum ada keseragaman di antara pemakai bahasa. Luluh tidaknya bunyi seperti ditunjukkan pada kasus di atas disebabkan, terutama, oleh dua hal. Pertama, sangkaan orang bahwa suku pertama pada kata itu sama dengan imbuhan atau tidak. Jika p-e-r itu disangka sama dengan imbuhan, bunyi p tidak di­luluhkan sehingga dipakai bentuk seperti mempercayai, memperkarakan, memperkosa. Sebaliknya, jika p-e-r itu dipan­dang tidak sama dengan imbuhan, bunyi p diluluhkan sehingga digunakan bentuk memercayai, memergoki, memerlukan. Kedua, anggapan orang bahwa bentuk dasar­nya masih asing atau tidak. Jika bentuk dasar itu dianggap asing, bunyi p cenderung tidak diluluhkan sehingga muncul bentuk seperti memper­mutasi, mempersentasekan, mempermanenkan. Dapat ditambahkan, jika bentukan yang dihasilkan akan terasa mengaburkan bentuk dasar, orang juga cenderung tidak meluluhkan bunyi p itu, seperti pada mempascasarjanakan, mempanglimakan.Bunyi p pada imbuhan per- seperti pada pertemukan dan per­tandingkan memang tidak luluh pada bentukan mempertemukan dan mempertandingkan. Namun, perlu diketahui bahwa p-e-r pada percayai, perkarakan, perkosa bukanlah imbuhan. Jika bentukan yang akan di­hasilkan itu disesuaikan dengan kaidah penggabungan bunyi, seharus­nyalah bentukan itu menjadi memercayai, memerkarakan, memerkosa. Demikian juga, masalah asing tidaknya bentuk dasar, ataupun bentukan yang dihasilkan, dapat dikesampingkan jika kaidah itu akan diikuti. Pada praktiknya, batas asing tidaknya sebuah kata sulit ditentukan, kecuali jika kata itu baru diperkenalkan untuk pertama kali. Jika hal itu diduga dapat membingungkan pembaca, pada pemakaian yang pertama dalam tulisan ilmiah dapat ditambahkan bentukan yang hendak dijauhi, misalnya memercayai (mem­percayai), memersentasekan (mempersentasekan), memanglimakan (mem­­panglimakan).

Masing-Masing dan Tiap-Tiap
Sebagian penutur bahasa Indonesia keliru menggunakan kata masing-masing dan tiap-tiap. Perhatikan contoh berikut.
(1)        Masing-masing ketua regu harap memakai nomor urut peserta di dada dan di punggungnya. (1a)      Tiap-tiap ketua regu harap memakai nomor urut peserta di dada dan di punggungnya. (2)        Biaya pameran itu dibebankan kepada masing-masing unit pelak­sana teknis. (2a)      Biaya pameran itu dibebankan kepada tiap-tiap unit pelaksana teknis.   Jika kita perhatikan kalimat (1a)--(2a), tampaknya masing-masing dan tiap-tiap dapat saling menggantikan. Kata tiap-tiap mempunyai arti yang sangat mirip dengan kata masing-masing karena keduanya termasuk kata bilangan distributif. Namun, apakah pemakaian kedua kata itu pada contoh kalimat di atas sama-sama benar? Perhatikan kalimat-kalimat berikut. Benar (1)        Semua siswa akan mendapat buku. Tiap-tiap siswa mendapat satu buah. (2)        Seusai upacara, murid-murid kembali ke kelasnya masing-masing. (3)        Seusai upacara, tiap-tiap murid kembali ke kelasnya masing-masing. (4)        Tiap-tiap kelas membersihkan ruang masing-masing. (5)        Kita harus menghormati orang tua kita masing-masing.   Tidak Tepat (1)        Semua siswa akan mendapat buku. Masing-masing siswa mendapat satu buah. (2)        Seusai upacara, masing-masing murid kembali ke kelas. (3)        Masing-masing kelas membersihkan tiap-tiap ruang. (4)        Kita harus menghormati tiap-tiap orang tua kita.   Dari contoh-contoh kalimat tersebut, jelaslah bahwa kata tiap-tiap selalu diikuti/diiringi kata benda (nomina) yang diterangkan dan tidak digunakan pada akhir kalimat, sedangkan kata masing-masing pengguna­annya selalu didahului kata benda (nomina) yang diterangkan (antesedennya) dan dapat digunakan pada akhir kalimat.

Manakah yang benar busana adi atau adibusana sebagai istilah?
lstilah adibusana berpadanan dengan istilah haute couture (Prancis) dan high fashion (lnggris). Bentuk itu berdasarkan pola yang sudah ada, yaitu adipati, adiraja, adiratna, adiwangsa, dan adikuasa. Bentuk adi- itu dapat diberi makna ‘lebih tinggi dalam taraf, derajat mutu, permana (kuantitas) daripada ...‘; ‘mengatasi atau melebihi yang lain yang sejenis sehingga terciptalah perangkat bersistem yang rapi’.
Bentuk adi-, sebagaimana terdapat pada contoh di atas, biasanya dipakai sebagai unsur pertama dalam gabungan majemuk. ltulah sebabnya dipilih bentuk adibusana. Walaupun dalam sastra Melayu lama ada empat bentuk dengan unsur adi yang urutannya terbalik, yaitu (1) hulubalang adi, (2) pahlawan adi, (3) pendekar adi yang masing-masing menggambarkan keunggulan dalam kiat, dan (4) pasukan adi yang, jika dimodernkan, mengandung makna ‘shock troop, stootroep’. Dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia, bentuk majemuk baru berunsur adi- hendaknya sejalan dengan bentuk majemuk lain yang salah satu unsurnya juga bentuk terikat, seperti pascasarjana, ultralembayung, dan swakelola.

lstilah adibusana telah dibicarakan dalam acara “Pembinaan Bahasa Indonesia” melalui TVRI pada bulan Maret 1985, antara Sdr. Iwan Tirta, perancang busana terkemuka, dan Anton M. Moeliono, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa).


MALPRAKTIK atau MALAPRAKTIK
Bentuk mal- dalam bahasa Inggris mula-mula berarti ‘buruk’, kemudian bermakna juga ‘tidak normal, salah, mencelakakan, jahat’.
Dalam bahasa Jawa Kuna terdapat bentuk mala- yang diserap oleh bahasa Melayu karena memang sesuai dengan bentuk mal- Inggris dan maknanya ‘noda, cacat, membawa rugi, celaka, sengsara.’ Dalam bahasa Indonesia, mala- merupakan unsur terikat yang tidak dapat berdiri sendiri berfungsi sebagai sebuah kata dengan arti tertentu. Oleh karena itu, urutan unsurnya pun tetap. Dengan demikian, padanan istilah Inggris malpractice adalah malapraktik, bukan malpraktik, praktik mala atau praktik mala. Berikut contoh yang lain:malabsorption--> malaserap; maladaption, maladjustment --> malasuai maldistribution --> maladistribusi; malfunction --> malafungsi; malnutrition --> malagizi; malposition --> malasikap
Makna Kata Kilah dan Tukas
Jika sebuah kata tidak dipahami maknanya, pemakaiannya pun mung­kin tidak akan tepat.
Hal itu akan menimbulkan keganjilan, kekaburan, dan salah tafsir. Berikut ini akan dibahas kata kilah dan tukas yang sering dipakai secara tidak tepat. Kata kilah disamakan dengan kata kata atau ujar sehingga berkilah dianggap sama dengan berkata atau berujar dan kilahnya dianggap sama dengan katanya atau ujarnya. Hal itu terlihat dalam wacana berikut.(1)   Kemarin Tuti dibelikan baju baru oleh Doni, kakaknya.Dengan senang hati dia menerimanya. “Terima kasih,” kilahnya kepada Doni. Jika kita membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), akan kita temukan kata kilah dengan makna ‘tipu daya’ atau ‘dalih’. Jadi, pe­makaiannya seperti pada wacana (1) tidaklah tepat. Berkilah artinya ‘mencari-cari alasan untuk membantah pendapat orang’. Perhatikan contoh berikut.(2)   Dalam pertandingan semalam penampilannya begitu buruk sehingga dia mengalami kekalahan telak. Atas kekalahannya itu dia berkilah bahwa suhu udara sangat rendah sehingga gerakan tubuhnya terhambat.(3)   Banyak soal ujian yang tidak dapat dikerjakannya. Kali ini tampaknya persiapannya kurang. “Saya tidak dapat belajar. Rumah saya terlalu bising,” kilahnya. Dalam contoh (2) suhu udara dijadikan alasan kekalahan untuk menolak adanya pendapat yang lain. Demikian juga dalam contoh (3), kebisingan di rumah dijadikan alasan kurangnya persiapan untuk menutupi kekurangan lain yang sebenarnya.Kata berdalih merupakan sinonim berkilah. Berdalih artinya ‘mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan’. Berikut ini contoh pemakaiannya.(4)   Ucok ingin menjual sepedanya untuk membayar utang. Kepada ibunya dia berdalih bahwa sepedanya itu sudah tidak baik lagi jalannya. Kata tukas juga sering digunakan dengan pengertian keliru. Kata tukas sering diartikan ‘menjawab atau menanggapi perkataan orang dengan cepat’ seperti contoh berikut.(5)   Edi bertanya kepada Pak Amir, ‘Pak, apakah persoalan ini perlu dibicarakan dengan Pak Hasan atau ...”         “Tidak perlu lagi,” tukas Pak Amir. Arti kata tukas yang benar, seperti tercantum dalam KUBI, adalah ‘menuduh tidak dengan alasan yang cukup’. Berikut ini contoh pema­kaiannya.(6)   Retno mendapatkan tasnya telah terbuka dan dompet berisi uang serta surat-surat penting telah lenyap dari sana. Dengan pikiran kalut dia menengok ke kiri ke kanan dan melihat orang yang rasa-­rasanya selalu mengikutinya. “Pasti engkaulah yang mengambil dompetku”, tukasnya kepada orang itu. Selain itu, ada pula kata tukas yang berasal dari bahasa Minangkabau berarti ‘mengulangi lagi’ (permintaan, jawaban, panggilan, dan se­bagainya). Berikut ini contoh pemakaiannya.(7)   “Jangan berhujan-hujan. Nanti Ibu marah”, kata Titi kepada adiknya.“Tidak peduli, jawab adiknya.“Nanti kau dihukum,” kata Titi lagi. “Tidak peduli,”“ tukas adiknya. 

Kurban dan Korban
Setiap kali menyambut Idul Adha, kita sering
menemukan sebuah kata yang ditulis dengan ejaan yang berbeda.
 Ada yang menuliskan kurban, ada pula yang menuliskan korban. Di dalam sebuah kolom pada sebuah media massa cetak ditemukan kalimat berikut.
(1)        Daging kurban itu akan dibagikan kepada yang berhak
menerima.
 
Kata kurban itu, dengan pengertian yang sama, pada kolom lain ditulis dengan korban, seperti terlihat pada kalimat berikut.
(2)        Daging korban itu akan dibagikan kepada yang berhak
menerima.
 
Selain itu, terdapat pula penggunaan kata korban, dengan pengertian yang sama, yang ditulis dengan
ejaan yang berbeda, seperti yang terlihat pada contoh berikut.
(3)        Jumlah korban yang tewas dalam musibah itu terus meningkat.
(4)     Jumlah kurban yang tewas dalam musibah itu terus meningkat.
Pertanyaan yang muncul, “apakah penulisan kata yang sama maknanya perlu dituliskan dengan ejaan yang berbeda?" Dalam hal itu, tentu saja penulis­annya tidak perlu dibedakan.
Akan tetapi, jika di antara dua kata yang maknanya berbeda, seperti pada contoh kalimat (1) dan (3), penulisan kedua kata itu perlu dibedakan demi kecermatan dalam peng­gunaannya.
Kata kurban dan korban sebenarnya berasal dari kata yang sama dari ba­hasa Arab, yaitu qurban (²\^z£). Dalam perkembangannya, qurban diserap ke datam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan dengan perkembangan makna. Pengertian yang pertama ialah 'persem­bahan kepada Tuhan (seperti kambing, sapi, dan unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji)' atau 'pem­berian untuk menyatakan kesetiaan atau kebaktian', sedangkan makna yang kedua adalah 'orang atau bina­tang yang menderita atau mati akibat suatu ke­jadian, perbuatan jahat, dan sebagainya'. Kata qurban dengan pengertian yang pertama dieja menjadi kurban (dengan <u>), sedangkan untuk pengertian yang kedua, dieja menjadi korban (dengan <o>).
Berdasarkan uraian tersebut, pemakaian kata kurban dan korban dalam topik
tulisan ini dapat kita cermatkan menjadi Kambing kurban dan Korban
lalu lintas. Berikut disajikan contoh yang benar pemakaian kedua
kata itu di dalam kalimat.
(1)        Menjelang Lebaran Haji harga ternak kurban naik.
(2)        Daging kurban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerima.
(3)        Sebagai pejuang, mereka rela berkorban demi tercapainya cita-cita bangsa.
(4)        Sebagian besar korban kecelakaan itu dapat diselamatkan.
(5)        Jumlah korban yang tewas dalam musibah itu terus rneningkat.

Selain kedua kata tersebut, di dalam bahasa Indonesia terdapat pula beberapa
kata serapan lain yang mengalami perkembangan makna, seperti kata kurban
dan korban, sehinga memerlukan pembedaan di dalam penulisannya dan
kecermatan penggunaannya di dalam kalimat. Misal­nya, berkah dan berkat,
rida dan rela, serta fardu dan perlu. Perbedaan itu
dapat dilihat pada kalimat berikut.
(6) Orang Islam percaya bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah.
(7)Berkat ketekunannya, ia berhasil mencapai prestasi yang baik.
(8) Orang Islam berpuasa untuk mendapatkan rida Allah.
(9) Banyak orang yang rela berkorban demi orang yang dicintainya.
(10)Salat fardu, bagi orang
Islam yang tidak berhalangan, tidak boleh diting­galkan
.
(11) Untuk menyelesaikan pekerjaan
besar itu, kita perlu melakukan kerja sama
.

Komplikasi
Kita sering mendengar bahwa seseorang dirawat karena menderita pe­nyakit yang komplikasi.
 Kata komplikasi (complication) berarti 'kumpulan situasi' atau
'kumpulan detail karakter bagian utama alur cerita'. Di bidang kedokteran, komplikasi diartikan penyakit sekunder yang me­rupakan perkembangan dari penyakit primer' atau 'kondisi sekunder yang me­rupakan perkembangan dari kondisi primer', misalnya penyakit primer A berkembang menjadi penyakit sekunder B dan C. Kedua penyakit yang terakhir itu disebut komplikasi.
Kornplikasi juga dapat berupa 'kumpulan faktor atau kumpulan isu yang sering tidak diharapkan, yang dapat mengubah rencana, metode, atau sikap.
Contoh:
Komplikasi penyebab kerusuhan itu mengakibatkan rencana penye­lesaiannya sering menemui jalan buntu.

Kelengkapan Unsur Sebuah Kalimat
Suatu kalimat yang baik memang harus mengandung
unsur-unsur yang lengkap.
 Dalam hal ini, kelengkapan unsur kalimat itu sekurang-ku­rangnya harus
memenuhi dua hal, yaitu subjek dan predikat. Jika predikat kalimat itu berupa
kata kerja transitif, unsur kalimat yang disebut objek juga harus hadir. Unsur
lain, yakni keterangan, kehadirannya bersifat sekunder atau tidak terlalu
dipenting­kan. Perhatikan contoh berikut.
(1)   Pembangunan itu untuk menyejahterakan masyarakat.
           Subjek                    Keterangan
(2)   Bagi para siswa yang akan mengikuti ujian harus melunasi uang SPP
                     Keterangan                      Predikat    Objek
 

SecaraSekilas, kedua kalimat itu tidak menyiratkan adanya keku­rangan. Namun, jika diperhatikan secara cermat, tampaklah bahwa dalam kalimat (1) tidak terdapat unsur predikat, sedangkan pada kalimat (2) tidak terdapat unsur subjek. Kelompok kata pembangunan itu pada kali­mat (1) merupakan subjek, dan sisanya merupakan ke­terangan, sedangkan pada kalimat (2) kelompok kata bagi para siswa yang akan mengikuti ujian merupakan keterangan dan
bagian lainnya berupa predikat dan ob­jek. Berdasarkan unsur-unsurnya, kalimat
(1) berpola S-Ket., sedangkan kalimat (2) tidak adanya unsur subjek. Agar
kalimat di atas menjadi Ieng­kap, kalimat (1) dapat kita tambah dengan unsur
predikat; misalnya ber­tujuan, sehingga kalimat (1) itu menjadi Pembangunan
itu bertujuan (untuk) menyejahterakan masyarakat.
Pada kalimat (2), unsur
keterangan, yaitu bagi para siswa yang akan mengikuti ujian, sebenarnya dapat diubah menjadi subjek dengan cara menghilangkan kata bagi. Dengan cara itu, kalimat (2) di atas dapat diperbaiki menjadi Para siswa yang akan meng­ikuti ujian harus melunasi uang SPP lebih dahulu.
Berdasarkan perbaikan di atas, kalimat perbaikan (1) dan (2) dibagi atas
unsur-unsurnya sebagai berikut.
(1a)  Pembangunan itu menyejahterakan masyarakat.
           Subjek          Predikat              Objek
(1b)  Pembangunan itu bertujuan (untuk) menyejahterakan masyarakat.
             Subjek             Predikat          Pelengkap

(2)    Para siswa yang akan mengikuti ujian
                   Subjek
         Harus melunasi uang SPP lebih dahulu
               Predikat                  Objek

Dengan demikian, pola kalimat perbaikan (1b) adalah S-P-O.; (1b) adalah
S-P-PeI., sedangkan pola kalimat perbaikan (2) adalah S-P-O.

Kebijakan dan Kebijaksanaan
Kata bijak memiliki arti ‘akal budi, pandai, arif, tajam pikiran, dan mahir’. Pada Ia seorang raja yang bijak, berarti ‘Ia seorang raja yang pandai meng­gunakan akal budinya’. Kata kebijakan berasal dari bentuk dasar bijak yang mendapat imbuhan gabung ke-…-an. Kata ini mengandung makna garis haluan (policy dalam bahasa Inggris). Perhatikan contoh kalimat berikut.
Garis haluan kebahasaan harus menyiratkan butir-butir permasa­lah­an dan cara pemecahannya sesuai dengan situasi dan kondisi bahasa dan masyarakat pemakainya.   Garis haluan, sebagai istilah, mengandung makna (1) ‘rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan organisasi)’; (2) ‘pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencari sasaran’. Selain kata ke­bijakan, terdapat pula kata kebijaksanaan dalam bahasa Inggris wisdom). Kata kebijaksanaan mengandung makna (1) ‘kepandaian meng­guna­kan akal budi (pengalaman dan pengetahuan)’ dan (2) ‘kecakapan (seseorang) bertindak apabila atau ketika menghadapi kesulitan.’ Kata  itu  berasal  dari  kata  bijaksana  mendapat  imbuhan  gabung ke-…-an. Pada bijaksana terkandung makna kata bijak, yakni ‘akal budi, arif, atau tajam pikiran’ sehingga kata bijaksana dapat berarti ‘pandai dan cermat serta teliti ketika atau dalam menghadapi kesulitan dan sebagainya’. Makna kata kebijaksanaan lebih luas daripada makna kata bijaksana. Perhatikan contoh pemakaian kata tersebut pada kalimat berikut : (1)        Ia sangat bijaksana dalam menjawab setiap pertanyaan yang menyangkut kebijakan organisasi. (2)        Berkat kebijaksanaan beliau, kerukunan antarumat beragama di daerah ini selalu terpelihara. (3)        Pemecahan masalah yang pelik ini sepenuhnya bergantung kepada kebijaksanaan pemuka adat dan tokoh masyarakat.

Kata Sapaan dalam Bahasa Indonesia
 Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menegur sapa orang yang diajak
berbicara (orang kedua) atau menggantikan nama orang ke­tiga.
 Berikut adalah beberapa contoh kata yang dapat digunakan sebagai kata sapaan.
(1) Nama diri, seperti Toto, Nur.
(2) Kata yang tergolong istilah kekerabatan, seperti bapak, ibu, paman, bibi, adik, kakak, mas, atau abang.
(3) Gelar kepangkatan, profesi atau
jabatan, seperti kapten, profesor, dokter, soper, ketua, lurah, atau camat.
(4)Kata nama, seperti tuan, nyonya, nona, Tuhan, atau sayang.
(5)Kata nama pelaku, seperti penonton, peserta, pendengar, atau hadirin.
(6)Kata ganti persona kedua Anda.

Penggunaan kata sapaan itu sangat terikat pada adat-istiadat setempat, adat kesantunan, serta situasi dan kondisi percakapan. Itulah sebabnya, kaidah kebahasaan sering terkalahkan oleh adat kebiasaan yang berlaku di daerah tempat bahasa Indo­nesia tumbuh dan berkembang. Namun, yang perlu diingat dalam hal ini adalah cara penulisan kata kekerabatan yang digunakan sebagai kata sapaan, yakni ditulis dengan huruf awal huruf kapital.
Contoh:
(1)Adik sudah kelas berapa?
(2)Selamat pagi pro(fesor).
(3)Hari ini kapten bertugas di mana?
(4)Setelah sampai di Yogyakarta, Tuan akan menginap di mana?

Kalimat Rancu
Kata rancu dalam bahasa Indonesia berarti 'kacau'.
Sejalan dengan itu, kalimat yang rancu berarti kalimat yang kacau atau kalimat yang susunannya tidak teratur sehingga informasinya sulit dipahami. Jika dilihat dari segi penataan gagasan, kerancu­an sebuah kalimat dapat terjadi kare­na dua gagasan digabungkan ke dalam satu pengungkapan. Sementara itu, jika dilihat dari segi strukturnya, kerancuan itu timbul karena pengga­bungan dua struktur kalimat ke dalam satu struktur. Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut.
(1)   Menurut para pakar sejarah mengatakan bahwa Candi Borobudur di­bangun pada masa Kerajaan Syailendra.

Kalimat itu termasuk kalimat yang rancu karena susunannya terdiri atas dua struktur kalimat. Struktur yang pertama dimulai dengan kata menurut, sedangkan yang kedua dimulai dengan subjek 'pelaku' (para pakar sejarah) yang diikuti dengan predikat mengatakan. Karena berasal dari dua struktur, kalimat rancu itu dapat dikembalikan pada struktur semula, yaitu (1a) dan (1b) berikut.
(1a)  Menurut pakar sejarah, Candi Borobudur dibangun pada masa Kerajaan Syailendra. 
(1b)  Pakar sejarah mengatakan bahwa Candi Borobudur dibangun pada masa Kerajaan Syailendra.

Kalimat (1) di atas strukturnya tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kalimat
(1) tersebut harus diperbaiki agar strukturnya menjadi benar. Perbaikannya
dapat dilakukan seperti kalimat (1a) dan (1b) di atas.
Sehubungan dengan hal itu, satu hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa kerancuan seperti itu dapat terjadi jika kalimat yang kita susun diawali dengan kata menurut dan kemudian diikuti oleh ungkapan sejenis mengatakan bahwa, menyebutkan bahwa, atau menyatakan
bahwa.
Oleh sebab itu, agar kalimat yang kita susun tidak menjadi rancu,
ungkapan sejenis mengatakan bahwa, menyebutkan bahwa, atau menyatakan
bahwa
tidak perlu digunakan jika kalimat yang kita susun dimulai dengan
kata menurut. Sebaliknya, jika kita akan menggunakan ungkapan sejenis me­ngatakan bahwa, kata menurut tidak perlu digunakan pada awal kalimat.
Kerancuan kalimat yang lain dapat pula timbul karena penggunaan kata peng­hubung meskipun atau walaupun pada awal kalimat yang kemu­dian diikuti oleh kata penghubung tetapi, seperti yang tampak pada con­toh berikut.
(2)    Meskipun perusahaan itu belum terkenal, tetapi
produksinya banyak di­butuhkan orang.

Kerancuan kalimat itu juga disebabkan oleh penggabungan dua kalimat menjadi satu. Kalimat pertama, yang menggunakan kata penghubung meskipun,
berupa kalimat majemuk bertingkat, sedangkan kalimat kedua, yang mengguna­kan kata penghubung tetapi, berupa anak kalimat dalam kalimat majemuk se­tara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerancuan kalimat (2) itu di­sebabkan oleh penggabungan kalimat majemuk bertingkat dan kalimat majemuk setara ke dalam satu kalimat. Ka­rena berasal dari dua kalimat yang digabung­kan menjadi satu, perbaikan kalimat itu pun
dapat dilakukan dengan mengem­bali­kan kalimat itu ke dalam struktur kalimat asalnya, seperti yang tampak pada (2a) dan (2b) berikut.
(2a)  Meskipun perusahaan itu belum terkenal, produksinya banyak di­butuhkan orang.
(2b)  Perusahaan itu belum terkenal, tetapi produksinya banyak dibutuhkan orang.

Dari perbaikan kalimat tersebut dapat diketahui bahwa kerancuan yang disebab­kan oleh penggunaan kata penghubung meskipun atau walau­pun yang diikuti oleh kata penghubung tetapi, perbaikannya pun dapat dilakukan dengan menghilangkan salah satu dari dua kata penghubung tersebut. Dalam hal ini, jika kata meskipun/walaupun sudah digunakan, kata tetapi tidak perlu lagi diguna­kan.
Sebaliknya, jika kata tetapi yang digunakan, kata penghubung meskipun/walaupun tidak perlu digunakan.
Kerancuan kalimat seperti yang terdapat pada contoh di atas sebenarnya tidak perlu terjadi jika penyusun kalimat dapat mengungkapkan gagasannya se­cara cermat dan teratur. Dengan menata gagasan secara cermat dan teratur, kalimat yang tersusun  akan terhindar dari kerancuan seperti itu.
Jam dan Pukul
Kata jam dan pukul masing-masing mempunyai makna sendiri, yang berbeda satu sama lain. Hanya saja, sering kali pemakaian bahasa kurang cermat dalam menggunakan kedua kata itu, masing-masing sehingga tidak jarang digunakan dengan maksud yang sama.
Kata jam menunjukkan makna 'masa atau jangka waktu', sedangkan kata pukul mengandung pengertian 'saat atau waktu'.
Dengan demikian, jika maksud yang ingin diungkapkan adalah 'waktu atau saat', kata yang tepat digunakan adalah pukul, seperti pada contoh berikut.
Rapat itu akan dimulai pada pukul 10.00
Sebaliknya, jika yang ingin diungkapkan itu 'masa' atau 'jangka waktu', kata yang tepat digunakan adalah jam, seperti pada kalimat contoh berikut.
Kami bekerja selama delapan jam sehari
Selain digunakan untuk menyatakan arti 'masa' atau jangka waktu', kata jam juga berarti 'benda penunjuk waktu' atau 'arloji', seperti pada kata jam dinding atau jam tangan.

JADWAL atau JADUAL
Penggunaan kata jadwal yang dituliskan menjadi jadual, seperti jadual
penerbangan dan jadual pelajaran, tidaklah benar. Kata jadual
dengan (u) hendaknya dituliskan dengan jadwal (w) karena di dalam bahasa
asalnya, bahasa Arab, kata itu dituliskan dengan
Huruf pada kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi w,
bukan u. Dengan demikian, penulisan yang benar jadwal, bukan
jadual. Begitu pula, gabungan kata yang penulisannya benar adalah
jadwal penerbangan dan jadwal pelajaran, bukan jadual
penerbangan dan jadual pelajaran. Contoh lain, takwa dan fatwa,
bukan takua dan fatua.
Penulisan kata jadual dengan (u) tampaknya beranalogi pada kata kualitas.
Penulisaan kata kualitas memang sudah tepat karena huruf /u/ pada
kata itu memang berasal dari bahasa asalnya, Inggris, quality. Jika ada
penulisan kwalitas, penulisan itu justru tidak benar. Contoh lain adalah kuantitas, bukan kwantitas.

Hanya dan Saja  
Kandungan makna kata hanya dan saja tidak sama atau berbeda.
 Oleh karena itu, kedua kata tersebut, yaitu hanya dan saja, tidak
dapat saling meng­gantikan posisi dan makna yang sama di dalam sebuah kalimat.
Fungsi kata itu masing-masing di dalam kalimat berbeda. Kata hanya menerangkan kata atau kelompok kata yang meng­iringinya, sedangkan kata saja
menerangkan kata atau kelompok kata yang mendahuluinya.
Contoh:
(1)        Mereka berlibur di Bali hanya lima hari.
(2)        Mereka berlibur di Bali lima hari saja.
(3)        Mereka hanya berlibur di Bali saja.
(4)        Mereka berlibur hanya di Bali saja.
(5)        Saya hanya memiliki dua orang anak saja.
(6)        Orang itu hanya memikirkan diri sendiri saja.

Penggunaan
kata hanya dan saja secara bersama-sama untuk mene­rangkan kata atau kelompok kata yang sama seperti pada contoh kalimat nomor (4), (5), dan (6) bersifat mubazir. Untuk kasus semacam itu, di dalam bahasa Indonesia ragam baku penggunaannya tidak tepat. Di dalam hal itu, pilih salah satu, hanya atau saja, yang menurut kaidah bahasa Indonesia paling tepat untuk kalimat tersebut.
Misalnya:
(1)        Saya hanya memiliki dua orang anak.
(2)        Saya memiliki dua orang anak saja.
(3)        Orang itu hanya memikirkan diri sendiri.
(4)        Orang itu memikirkan diri sendiri saja.

Euforia
Seiring dengan munculnya era reformasi, kata euforia banyak digunakan orang.
Kata itu oleh sebagian orang dianggap terkait erat dengan reformasi, demokrasi, dan kebebasan. Benarkah anggapan itu?
Kata euforia berasal dari bahasa Yunani, euforia (eu + pherein),
yang berarti 'lebih tahan' atau 'sehat'. Kata itu diserap oleh bahasa Ing­gris
menjadi euphoria yang berarti 'kegembiraan' atau 'perasaan mem­baik'.
Kemudian, kata itu diserap menjadi euforia, yang berarti 'perasaan
gembira yang berlebihan'. Kegembiraan yang berlebihan itu ditafsirkan
berlebihan pula sehingga sering berupa pesta-pesta, pawai keliling kota, bahkan ada yang sampai mengabaikan aturan yang ada. Euforia yang ber­lebihan
itu dapat menyebabkan orang ber­tindak anarkistis.

Esok dan Besok
Kata esok dan besok adalah dua kata yang sering dipertukarkan pemakai­annya.
Namun, pada contoh berikut keduanya tidak dapat dipakai saling ber­gantian. (1)          
 a.      Esok lusa (bukan: besok lusa) kita perbaiki jalan hidup ini agar  menjadi lebih baik.               
b.      Kita jelang hari esok (bukan: hari besok) yang lebih baik dengan kerja keras dan budi luhur.   Esok lusa dan hari esok pada contoh di atas berarti 'saat yang akan datang' atau 'masa depan', sedangkan besok lusa, alih-alih lusa, berarti 'dua hari sesudah hari ini' dan hari besok, alih-alih besok, berarti 'hari sesudah hari ini'. Pada contoh berikut pun keduanya tidak dapat digunakan saling ber­gantian.
(2)          
a.      "Kapan Anda berangkat? " Besok. (bukan esok).               
b.      la datang besok pagi (bukan esok pagi).  
Pada contoh berikut ini kata mengesokkan dan membesokkan dapat dipakai ber­gantian.
(3)        Jangan mengesokkan/membesokkan pekerjaan hari ini.   Kata mengesokkan dan membesokkan keduanya dapat digunakan pada kalimat (3), masing-masing dengan makna 'menangguhkan sampai esok' atau 'menangguhkan sampai waktu yang akan datang' dan 'me­nangguhkan sampai besok' atau 'menangguh­kan sampai satu hari kemu­dian'.  

Elit atau Elite
Banyak orang mengatakan, baik para politisi, penyiar, pejabat maupun masyarakat umum menggunakan kata elite di dalam berbagai kesempatan, tetapi pengucapan kata tersebut beragam. Ada yang mengucapkan /elit/ dan ada pula /elite/.
Dari kedua cara pengucapan itu, mana yang baku?
Kata elite berasal dari bahasa Latin /eligere/ yang berarti 'memilih' dalam bahasa Indonesia kata elite berarti 'orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok' atau 'kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb.).
Dalam bahasa latin huruf /e/ pada akhir kata mustinya diucapakan.
Oleh karena itu, kata elite harus diucapakan /elite/, bukan /elit/.
Begitu juga dengan bonafide harus diucapkan /bonafide/, buksn /bonsfid/ atau faksimile harus diucapkan /faksimile/, bukan /faksimil/,/feksimil/ atau /feksemail/.

Di dan Pada
Akhir-akhir ini banyak pengguna bahasa Indonesia yang senang menggunakan ungkapan di malam hari, di awal abad XXI, atau di awal milenium III.
Penggunaan preposisi di pada ungkapan itu menunjukkan kekurangcermatan dalam pemilihan kata. Preposisi di digunakan untuk manandai tempat, baik yang konkret maupun yang abstrak.
Oleh karena itu, preposisi di seharusnya diikuti keterangan tempat. Pada konteks itu pilihan kata yang tepat adalah pada karena diikuti waktu.
Beberapa kalimat berikut menggambarkan penggunaan di secara tepat.
(1) Pusat pemerintahan negara berada di Jakarta.
(2) Di dinding terpampang lukisan Monalisa.
(3) Keuntungan besar sudah terbayang di depan mata.
Demokrasi, Demokratis, Demokrat, dan Demokratisasi
Indonesia disebut-sebut telah berkembang menuju Negara demokrasi, tetapi ada juga yang mengatakan Indonesia telah berkembang menuju negara demokratis. Mana di antara keduanya yang benar?
Demokrasi (adjektiva) berarti ‘bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantaraan wakilnya’, ‘pemerintahan rakyat’. Negara demokrasi adalah Negara yang menganut bentuk dan system pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi juga berarti ‘gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan bagi semua warga negara’, misalnya berpaham demokrasi.
Demokratis (adjektiva) berarti ‘bersifat demokrasi’, seperti Negara yang demokratis ‘negara yang bersifat demokrasi’ atau ‘negara yang bersifat mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan bagi semua warga negara’. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demokrasi untuk menyatakan ‘bentuk dan system pemerintahan negara’, sedangkan demokratis untuk menyatakan sifat Negara, misalnya bukan feodalistis ataupun bukan kerajaan.
Demokrat (nomina) berarti ‘penganut paham demokrasi’, misalnya Organisasi ini adalah organisasi demokrat sejati. Oleh karena itu, semua anggota mempunyai hak, kewajiban, dan perlakuan yang sama terhadap organisasi.
Demokratisasi semakna dengan pendemokrasian, yakni ‘proses, perbuatan, atau cara mendemokrasikan’.

Debet atau Debit
Komunikasi di bidang ekonomi atau perbankan tidak jarang menggunakan istilah debet, misalnya pada lajur debet dan lajur kredit. Frekuensi penggunaan istilah lajur debet cukup tinggi, tetapi bentuk istilah yang benar adalah lajur debit, kata debit diserap secara utuh dari kata Inggris debit
Bentuk istilah itu merupakan gabungan dua kata, yaitu lajur dan debit yang membentuk istilah baru lajur debit. Dari bentuk istilah debit dapat dibentuk paradigma istilah yang bersistem debitor.
Istilah debit juga digunakan dengan pengertian 'jumlah air yang di pindahkan dalam suatu satuan waktu tertentu pada titik tertentu di sungai terusan, atau saluran air' (seperti dalam debit air) Kenyataan adanya bentuk polisemi--sebuah bentuk kata yang maknanya lebih dari satu--itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengganti istilah debit menjadi debet.
Dalam bidang ekonomi badan perbankan pun debit memiliki makna lebih dari satu:
(1) 'uang yang harus ditagih dari orang lain; piutang';
(2) 'catatan pada pos pembukuan yang menambah nilai aktiva atau mengurangi jumlah kewajiban; jumlah yang mengurangi deposito pemegang rekening pada banknya'.

Dari manakah asal dan makna kata mantan?
Dalam tulisan Saudara Ahmad Bastari Suan, Universitas Sriwijaya, pada majalah Pembinaan Bahasa Indonesia tahun 1984, diusulkan kata mantan sebagai pengganti kata bekas (‘eks’) yang dianggap kurang pantas dan bernilai rasa rendah.
Kata itu terdapat dalam bahasa Basemah, Komening, dan Rejang yang bermakna ‘tidak berfungsi lagi’. Dalam bahasa Basemah ada bentuk penggawe mantan ‘eks pegawai; pegawai yang tidak berfungsi lagi’, ketip mantan ‘eks khatib; khatib yang tidak berfungsi lagi’, dan penghulu mantan ‘eks penghulu; penghulu yang tidak berfungsi lagi’. Di dalam bahasa Jawa, ada kata mantan yang arti dan bentuknya bertalian juga dengan mari dan mantun, yang diambil dari bahasa Jawa Kuno dengan makna ‘berhenti’. Misalnya, dalam bahasa Jawa Kuno, ada mariyapanas (1) ‘berhenti ia dari kemarahan’, (2) ‘ber­hentilah dari kemarahan’ dan manten angucap ‘berhenti berkata’.Kata bekas dalam bahasa Indonesia pada bangun frasa dapat menjadi intinya (yang diterangkan), seperti pada frasa bekas menteri, dan dapat juga menjadi atribut (yang menerangkan), seperti pada mobiI bekas. Karena kata mantan itu menggantikan kata bekas yang berfungsi sebagai inti frasa, maka letaknya, sesuai dengan hukum DM, di awal fra­sa; mantan menteri, mantan presiden, mantan guru SD, dan sebagainya.Perlu ditambahkan bahwa penggantian itu dimaksudkan untuk menghilangkan konotasi yang buruk dan untuk menghormati orang yang diacu. Oleh sebab itu, pemakaiannya pun berkenaan dengan orang yang dihormati yang pernah memangku jabatan dengan baik atau yang pernah mempunyai profesi yang diluhurkan. Kata bekas tetap dipakai, misalnya, untuk menyebut bekas penjahat ulung, bekas diktator, bekas kuda balap, bekas mobil presiden, pakaian bekas, barang bekas.

Bebas parkir atau parkir gratis?
Kata bebas parkir diartikan orang ‘dibebaskan dari pembayaran parkir’.
Untuk menyatakan arti itu, sebaiknya dipakai kata parkir gratis atau parkir cuma-cuma (free parking). Bebas parkir seharusnya diartikan ‘dilarang parkir’ (no parking). Jadi, keduanya dapat digunakan dengan makna yang berbeda.

Apakah yang dimaksud dengan metropolitan dan apa pula megapolitan?
Bentuk metropolitan merupakan bentuk adjektif dari metropolis.
Kata metropolis berasal dan bahasa Yunani, yaitu dari kata meter yang bermakna ‘ibu’ dan polis bermakna (1) ‘ibu kota’ atau ‘kota terpenting dalam negara atau wilayah’ dan (2) ‘kota yang menjadi pusat kegiatan perdagangan industri, dan pemerintahan’. Contoh, polisi metropolitan bermakna ‘polisi kota besar’. Kata megapolis bermakna (1) ‘kota yang sangat besar’, (2) ‘daerah yang amat padat penduduknya dan yang berpusatkan metropolis’, atau (3) ‘gabungan beberapa metropolis’.

Apa yang dimaksud dengan kata aktivis?
Aktivis adalah orang yang giat bekerja untuk kepentingan suatu organi­sasi politik atau organisasi massa lain. Dia mengabdikan tenaga dan pikiran­nya, bahkan seringkali mengorbankan harta bendanya untuk me­wujudkan cita-cita organisasi.
Contoh kalimat yang menggunakan kata aktivis adalah sebagai berikut.(1)  Beberapa aktivis lembaga sosial masyarakat mengingatkan pentingnya Iingkungan hidup yang sehat.(2)  Organisasi kita memerlukan seorang aktivis yang rela menyum­bangkan tenaga dan pikirannya untuk kelangsungan hidup organisasi.

Aktivitas atau aktifitas
Bentuk aktivitas dan aktifitas tidak akan tampak perbedaannya bila dilafalkan. Namun, bila kedua bentuk tersebut terdapat dalam tulisan , kita akan dapat melihat perbedaannya.
Bentuk aktivitas ditulis dengan menggunakan huruf "v", sedangkan aktifitas menggunakan huruf "f". Sebagai penutur bahasa yang cermat, tentu saja kita akan bertanya manakah di antara kedua bentuk tersebut yang benar. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mengingat kembali kaidah tentang penyerapan kata asing.
Dalam bahasa Indonesia kata asing diserap dalam bentuk kata dasar ataupun kata berimbuhan. Imbuhan asing, seperti akhiran –ization dan –ity, tidak diserap secara lepas dari kata dasarnya. Dengan kata lain, imbuhan asing diserap bersama kata dasarnya. Berikut ini contohnya. Kata active diserap menjadi aktif, sedangkan kata berimbuhan activity diserap menjadi aktivitas. Sesuai dengan kaidah, kata yang berakhiran –ity diserap menjadi –itas, seperti university dan reality menjadi universitas dan realitas.
Mengapa timbul bentuk aktifitas? Bentuk ini timbul karena sebagian orang beranggapan bahwa kata aktifitas berasal dari kata dasar aktif diberi akhiran –itas. Padahal, akhiran –itas tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, bentuk yang benar adalah aktivitas. Tipe yang sama dapat kita jumpai pada kata efektif dan efektivitas.

No comments:

Post a Comment